Oleh: Aleksander Mangoting
Pembuka:
Bahan ini merupakan sebuah kesimpulan dalam perjalanan ke Malaysia pada tahun 1997 dan kemudian dipresentasikan pada Konsultasi pendampingan tenaga kerja yang dilaksanakan Gereja Toraja di Tangmentoe
I. PENDAHULUAN
Pertama-tama kami harus panjatkan puji dan syukur serta sembah kepada Tuhan sang pemilik hidup dan kehidupan ini, karena hanya dengan kasih, bimbingan dan karunia-Nya saja kami dimungkinkan untuk dapat melihat, merasakan dan mencoba merumuskan mengenai berbagai persoalan yang dialami oleh sesama manusia yang kebetulan adalah TKI (W) asal Toraja yang bekerja di negara bagian Sabah dan Serawak Malaysia. Dan untuk selanjutnya dalam rumusan ini kami akan mencoba untuk merumuskannya kemudian mencoba membuat program kerja untuk mencari jalan keluar dari berbagai persoalan yang ada, atau paling tidak ikut membantu meringankan penderitaaan dan persoalan yang mereka alami serta mengantisuipasi persoalan-persoalan yang akan dihadapi oleh TKI (W) dan calon TKI (W).
Kemudian kami aturkan banyak terima kasih kepada pihak Gereja Toraja, Gereja Basel Mission, Pemda Tana Toraja, para pendeta yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang banyak memberikan pemikiran, saran, masukan dan dukungan doa, pihak konjen di Sabah dan Serawak, dan yang banyak memberikan bantuan dan berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.Penilitan berlangsung selama dua bulan yaitu satu bulan di Tana Toraja dan jalur perjalanan TKI (W) hingga ke Nunukan. Ini berlangsung awal Februari - awal Maret 1997. Kemudian dilanjutkan dengan perjalanan menyeberang ke Sabah lewat Nunukan. Berangkat dari Nunukan ke Sabah tanggal 04 Maret 1997. Meninggalkan kota Kucing di Serawak tanggal 04 April 1997, sesudah menunjungi sejumlah daerah dimana banyak orang Toraja bermukim di Sabah dan Serawak.
Hasil penelitian lapangan ini meruapakan bahagian dari kepekaan dan keprihatinan kami sebagai mahluk sosial terhadap penderitaan yang dialami oleh sesama manusia khususnya yang bekerja di negeri orang lain, Malaysia. Kami mencoba meneliti karena begitu banyaknya informasi yang kami dengarkan, yang mengusik nilai kemanusiaan kami sehingga ide penelitian lapangan muncul yang kemuydian ditindak lanjuti oleh Gereja Toraja dan Penda Tana Toraja. Dan apa yang kami rumuskan ini adalah pokok-pokok persoalan saja karena laporan lengkap ada dalam laporan kami setebal 200 halaman lebih.
Persoalan TKI (W) (Tenaga Kerja Indonesia) khususnya Wanita (W) bagi bangsa Indonesia meruapakan sebuah persoalan klasik, yang amat ramai sekaligus rumit untuk ditangani selama ini. Kalau kita mau melihat secara jelas mengenai titik persoalannya, maka amatlah sukar untuk menemukannya karena persoalannya hampir sama dengan benang kusut. Namun dalam keadaaan yang demikian tentu kita tidak perlu putus asah untuk (paling tidak) mengusakan jalan keluar dari berberapa masalah yang dapat kita lihat dan amati selama ini.
Perjalanan (muhibah) yang dilaksanakan ke Malaysia khususnya ke dua negara bagian Sabah dan Serawak untuk melihat dan meneliti mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh TKI (W) Indonesia yang sedang bekerja diberbagai lapangan pekerjaan di negeri Jiran dan secara khusus asal Toraja, dilaksanakan atas dukungan dan kerjasama yang diberikan Gereja Toraja, Pemerintah Tana Toraja dan kami selaku pemohon untuk penelitian sesudah terjadi selaku pelaksana lapangan.
Persoalan yang dialami TKI (W) asal Toraja tentu tidaklah terlalu jauh dengan apa yang dialami oleh TKI (W) asal Timor dimana banyak orang Toraja dan Timor yang membangun rumah tangga (sudah kawin-mawin) selama mereka menjadi TKI (W) dinegara tentangga itu. Persoalan dalam lapangan kerja di Sabah dan Serawak tentu banyak kesamaannya sehingga persoalan yang dialami oleh orang Toraja dan Timor serta beberapa daerah lainnya di Indonesia yang banyak ditemui selama dalam penelitian lapangan di Malaysia, Sabah dan Serawak.
Dalam melaksanakan tugas ini, kami banyak mendapat bantuan dan kerjasama dari pihak Gereja Basel Mision, pihak Konsulat RI di Sabah dan Serawak khususnya di Kinibalu yang memberikan banyak masukan, pihak kerukunan orang Toraja, bahkan sejumlah pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu disini kami juga aturkan banyak terima kasih.
II KAPAN DAN MENGAPA MEREKA KE MALAYSIA
Berbicara tentang kapan dan bagaimana orang Toraja hingga berada di Malaysia untuk bekerja diberbagai sektor tentu memerlukan penelusuran yang cukup panjang dan mendalam. Awalnya orang Toraja masuk ke Malaysia masuk dengan jalur bekerja di perusahaan HPH pada tahun 1970-an sesudah masa kejayaaan HPH di Kalimantan Timur sudah selesai. Mereka masuk ke Malaysia dibawah oleh perusahaan HPH yang baru membuka usahanya di Sabah dan Serawak. Mereka bekerja dalam tekanan karena pada umumnya bekerja tanpa memiliki dokumen resmi sebagai pekerja. Pada umumnya mereka diperas oleh pihak perusahaan dan juga para petugas di Malaysia. Gaji mereka dipotong untuk urusan surat-surat mereka yang biasanya 3-5 kali lipat bila diurus secara resmi. Selain itu mereka yang bekerja sejak tahun 1970-an ada banyak juga yang berhasil karena mereka bekerja secara borongan. Mereka yang berhasil inilah yang kemudian kembali ke kampung halaman dan membawah lagi keluarga, sahkenalan atau tetangganya untuk bekerja di Malaysia yang pada waktu itu umumnya diperusahaan HPH. Dan pada tahun 1980-an suasana pekerjaan dan penghasilan di HPH semakin menurun seiring menurunnya hasil hutan. Bahkan pada tahun 1990-an produksi kayu semakin menipis sehingga penghasilan mereka yang bekerja di HPH semakin menurun, bahkan sebagian besar orang Toraja yang pada tahun 1990-an sudah puluhan ribu (sekitar 45 ribu orang jiwa yang tinggal di Sabah dan Serawak, dengan anak dan keluarga mereka dan yang terbanyak tinggal di Sabah). Data yang kami peroleh pada tahun 1997 tergambar bahwa orang Toraja mendiami kota Tawao, Kinibalu, Sandakan, Kiningau, Miri, Pulau Labuan (sebuah Pulau sama dengan model Batam yaitu pulau bebas bea cukai), Kundasang (tempat petani sayur orang Toraja yang cukup besar) Serawak dan berbagai tempat lainnya.
Jalur pergerakan orang Toraja yang pertama kali ke Malaysia adalah dari Kalimantan Timur utamanya di Nunukan, kemudian menyeberang ke Tawao, lalu menyebar ke berbagai daerah di Sabah dan Serawak. Pada umumnya mereka bekerja di HPH dan kemudian di beberapa perkebunan karena mereka dianggap pekerja ulet. Kemudian pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an sebagian bekerja pada sektor sopir angkutan umum, Satpam, Pembantu Rumah Tangga, usaha perkebunan sayur dengan menyebaw atau bagi hasil dengan pemilik lahan, bahkan ada yang menyewah lahan untuk ditanami sayur-mayur. Hal lain yang membuat kita prihatin yaitu adanya sebagian yang bekerja pada tempat-tempat kurang terhormat yaitu sebagai pekerja seks, yang mereka ini tentu rentan terhadap penyebaran AIDS dan HIV.
Mereka yang ke Malaysia, tentu dengan impian dan harapan akan beitu banyaknya ringit Malaysia yang dibawah oleh mereka yang kembali dari Malaysia. Jadi tidak heran kalau generasi muda yang ada (uatamanya yang masih tinggal di kampung-kampung) tergiur untuk ke Malaysia sesudah menyaksikan keluarga atau tetangga mereka yang kembali dengan sejumlah ringgit Malaysia.
Mereka yang sudah tergiur tidak pernah lagi mempersoalkan tentang dokumen, masalah yang harus dihadapi, masalah sosial yang ada di tempat kerja yang baru, tetapi yang ada dalam pemikiran mereka adalah bagaimana supaya juga dapat berhasil dan kembali membawah sejumlah ringgit Malaysia.
III PERSOALAN DI NUNUKAN
Jalur yang mereka lalui untuk sampai ke Malaysia adalah jalur Nunukan, menyeberang ke Sabah. Di Nunukan pada umumnya mereka diurus oleh teman ataupun orang-orang makelar yang pada umumya menetapkan tarif biasanya 2-3 kali lipat dari tarif yang sebenarnya. Paspor yang biasanya biayanya total hanya Rp 120.000,- mereka urus dengan total biaya Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,-. Belum lagi soal biaya menumpang di Nunukan, makanan, urus ke pelabuhan dan berbagai biaya lainnya yang dipungut dari calon TKI (W) yang akanm diberangkatkan ke Malaysia. Kalau calon TKI (W) itu belum mengurus Paspor, maka para calo itu menguruskan kartu putih dengan biaya yang melebihi biaya paspor resmi.
Di Nunukan orang-orang yang menamakan diri sebagai pegawai dan dari dinar PJTKI banyak berjubel mencoba mengurus para calon TKI (W) tetapi hanya dalam soal pemberangkatan dan kalau mau mengurus paspor, dapat dimasukkan kedalam kartu keluarga di Nunukan kemudian diuruskan paspor. Hal ini dapat selesai dalam waktu 3-4 hari, tergantung dalam soal dana siluman yang disiapkan oleh calon TKI (W). Tidaklah heran kalau ada keluarga yang lima atau enam kami mengganti kartu keluarga mereka dalam setahun. Ini persoalan klasik yang terjadi di Nunukan. Siapa yang bermain di dalamnya tentu termasuk RT, Desa/Lurah, Camat dan para calo di sana. Belum lagi kalau kita mau telusuri lebih jauh maka akan termasuk pihak imigrasi, polisi, Tentara, pihak PJTKI dan kemungkinkan masih banyak lagi, termasuk tentu sindikat TKI (W) yang ingin memendapatkan keuntungan diatas penderitaan orang lain.
Mereka yang ingin masuk ke Malaysia tanpa surat-surat (Paspor atau kartu putih) mereka berangkat tengah malam dari Nunukan melewati hutan bakau kemudian sampai ke Tawawo pda tengah malam itu juga karena jarak tempu dari Nunukan ke Tawawo hanya 2-3 jam perjalanan dengan kapal.
Di negara bagian Sabah dan Serawak merupakan daerah dimana paling banyak orang Toraja bermukim dan mencari pekerjaan baik sebagai buruh perusahaan, Satpam, sopir, buruh tani, bahkan ada satu dua yang sudah menjadi warga negara Malaysia dan menjadi pekerja di Malaysia.
Masalah tempat tinggal bagi orang Toraja dan TKW Asal Indonesia di kedua negara bagian ini amatlah memprihatinkan karena kamar dengan ukuran 3 X 3 meter ditempati satu keluarga (ayah, ibu, anak dan sejumlah barang kepunyaan mereka).
Pemukiman mereka TKI (W) amatlah memprihatikan, kalau dilihat dari soal luas kamar, pola pemukiman, kesehatan, sistem bermasyarakat mereka.
Pola hubungan kerja antara majikan dan mereka yang kurang menggembirakan, hal ini disebabkan persepsi sosial, budaya, adat-istiadat yang tidak (kurang) saling mengerti.
Pada umumnya (hampir semuanya) tidak mempunyai paspor kerja untuk masuk ke Malaysia mencari pekerjaan sehingga mereka pada umumnya merupakan pendatang haram di negeri Jiran. Mereka masuk ke Malaysia hanyalah modal “nekad” dan mereka tidak mempunyai satu dokumen tertulis. Jadi soal nilai tawar tidak ada dan mereka senantiasa menjadi sapi perahan petugas di Malaysia. Mereka tiba di Malaysia dengan jalan ditampung teman atau keluarganya yang lebih dahulu sampai dan mengadu nasib ke negeri Jiran ini.
Tidak mengatahui tentang model kesepakatan kerja, hak dan kewajibannya sebagai TKI (W) di negeri mereka bekerja.
IV PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIALAMI TKI (W) ASAL TORAJA DI MALAYSIA:
1. Mereka pada umumnya tidak memiliki dokumen resmi selaku TKI (W) dan juga tidak mengetahui dokumen apa saja yang dibutuhkan (harus dimiliki) selaku TKI (W) di negeri Jiran dan/atau kalau menjadi TKI (W) sehingga tidak diperlakukan secara semena-mena.
2. Tidak mengetahui mengenai standar gaji yang berlaku di Malaysia sehingga banyak yang mendapatkan upah dibahwa standar minimum dinegara tujuan. Belum lagi soal jumlah jam kerja yang melebihi standar, perlakuan yang kurang adil, terjadinya kekerasan, pemerkosaan, bahkan dibeberapa perkebunan terjadi pembunuhan sehingga ada sejumlah pekerja asal Toraja yang hilang begitu saja tanpa diketahui rimbahnya kemana. Jadi belum mengetahui seluk beluk ketenaga kerjaan di negara tentangga sehingga mereka pada umumnya diperlakukan semena-mena saja oleh sang majikan atau persuahaan tempat mereka bekerja sehingga mereka pada umumnya diperlakukan sebagai “budak”.
3. Masalah pengetahuan mengenai aturan ketenagakerjaan yang berlaku disuatu negara tujuan.
4. Keluarga yang ditinggalkan dikampung halaman tidak mengetahui bagaimana kesulitan dan persoalan yang harus dihadapi kalau menjadi TKI (W) illegal di luar negeri.
5. Para TKI (W) tidak mengetahui hal dan kewajiban mereka selaku TKI (W) di negara Malaysia seperti tunjangan hari raya, lembur diluar jam kerja, soal jaminan keamanan kerja, jaminan kesehatan kerja, upah yang harus mereka terima serta hak-hak lain yang seharusnya mereka terima sebagai TKI (W).
6. Tidak mengetahui kemana harus mengadu, bagaimana caranyan mengadu kalau ada masalah yang mereka alami ditempat kerja mereka.
7. Adanya perlakuan tidak adil, senonoh, perkosaan hak-hak, perkosaan, pembunuhan, tindak kekerasan, pemerasan, penyunatan hak-hak.
8. Adanya sejumlah perempuan muda yang dipaksa bekerja pada dunia hitam karena ditipu oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan perusahaan mencari tenaga kerja yang akan dipekerjakan disebuah perusahaan, tetapi akhirnya para perempuan-perempuan tersebut yang umumnya tidak memiliki keterampilan dan dokumen dipaksa untuk bekerja di lemba hitam (Pekerja seks).
9. Di Toraja sudah ada indikasi bahwa ada beberapa orang yang sudah terinfeksi virus HIV, dan kemungkinan itu hanyalah satu dari sekian banyak orang yang sudah mulai terjangkiti virus HIV. Mereka yang sudah di curigai positif ini adalah mantan pekerja seks, atau paling tidak, adalah semacam “oleh-oleh” dari negeri Jiran.
10. Belum adanya jaringan kerjasama antara pihak Pemda Tana Toraja dengan para tenaga kerja asal Toraja yang bekerja di Malaysia, atau paling tidak, perhatian secara serius dari Pemda Tana Toraja dan Gereja Toraja dalam bentuk operasional lapangan terhadap persoalan-persoalan tenaga kerja asal Toraja yang bekerja di Malaysia dan beberapa negara lainnya.
11. Adanya semacam sistematika jaringan sindikat “Perdagangan” TKI (W) yang ada selama ini.
V. POTENSI YANG ADA:
1. Adanya ikatan kekeluargaan orang Toraja yang masih kuat lewat adat-istiadat, budaya yang masih dipelihara dengan kuat.
2. Adanya pengurus Keluarga Toraja dihampir semua tempat (kota atau Daerah) di Malaysia sebagai wadah komunikasi diantara mereka dan juga untuk saling membantu dan mengadakan sharing diantara masyarakat Toraja di Malaysia. Adanya lembaga keagamaan yang masih kuat dianut oleh masyarakat Toraja.
3. Lembaga keagamaan, karena mereka masih kuat kaitan mereka dengan lembaga keagamaan baik di Malaysia (yang menurut sejumlah pastor dan pendeta yang ditemui selama berada di Malaysia masih cukup baik hubungan mereka dengan lembaga keagamaan, dan juga apa yang kami saksikan sendiri dalam ibadah hari Minggu dimana kami memimpin ibadah hari minggu di Malaysia) maupun di Tana Toraja.
4. Masih kuatnya hubungan sosial dan sistem kekerabatan dalam masyarakat Toraja.
5. Adanya organisasi Persekutuan Wanita Gereja Toraja yang mulai dari tingkat Pusat hingga tingkat jemaat yang dapat dijadikan sebagai jaringan kerjasama dalam memberikan penyadaran dimasa mendatang.
VI DALAM RANGKA MENGATASI PERSOALAN-PERSOALAN DIATAS MAKA PROGRAM KERJA YANG DIPERLUKAN DILINGKUNGAN MASYARAKAT TORAJA ADALAH:
Melihat persoalan yang ada di lapangan, maka tentu kita harus menyusun strategi di dalam rangka melihat, menganalisa serta mengambil tindak lanjut di dalam rangka mengatasi persoalan yang ada di lapangan. Untuk itu, langkah-langkah dan hal yang dapat kita kerjakan ke depan sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman mengenai dokumen yang diperlukan didalam rangka menjadi TKI (W) di luar negeri lewat sosialisasi lewat organisasi keagamaan, fungsionaris keagamaan, di desa atau kecamatan yang banyak mengirimkan TKI (W) ke luar negeri selama ini lewat penyadaran dan fasilitator dalam berbagai bentuk pertemuan di desa dan dalam berbagai bentuk pertemuan lainnya yang akan dibicarakan dengan pihak pemerintah atau lembaga yang ada dalam masyarakat Toraja.
2. Memberikan pemahaman mengenai hak dan kewajiban setiap TKI (W) selaku tenaga kerja Indonesia di negara tujuan mereka, memberikan pemahaman mengenai seluk beluk ketenaga kerjaan, pemahaman tentang sistem budaya, adat-istiadat, aturan dan perundang-undangan negara tujuan sehingga mereka dapat menjadi pekerja yang dipandang sebagai manusia yang mempunyai martabat dan nilai kemanusiaan di depan sang majikan dan bukannya hanya dipandang sebagai buruh yang dapat diperlakukan seenaknya saja.
3. Memberikan bekal kepada calon TKI (W) didalam rangka menghadapi berbagai kesulitan, masalah di lingkungan kerjanya, alamat yang perlu dihubungi bila terjadi masalah di lingkungan kerjanya, bagaimana melaksanakan kesepakatan kerja, bagaimana menuntut hak dan kewajibannya, bagaimana mengklaim sang majikan atau tempat bekerja bila terjadi pelanggaran kesepakatan dan beberapa hal yang dianggap penting.
4. Membuat sentra pusat informmasi mengenai persoalan TKI (W) yang menyangkut berbagai hal mengenai TKI (W) di Toraja atau paling tidak ada tempat dimana para TKI (W) dan calon TKI (W) dapat memperoleh informasi mengenai berbagai hal menyangkut TKI (W) dalam hal dokumen yang diperlukan, hak dan kewajiban, alamat yang perlu dihubungi bila ada masalah, sistem perburuhan di negara tujuan, sitem kontrak dan berbagai hal menyangkut ketenaga kerjaan di negara tujuan.
5. Perlu membangun jaringan kerjasama didalam rangka mengatasi berbagai persoalan ketenaga kerjaan yang terjadi, sehingga dapat meminimalkan persoalan yang ada.
6. Membangun solidaritas diantara mantan TKI (W) dengan para TKI (W) dan calon TKI (W) lewat berbagai bentuk kegiatan organisasi atau jaringan kerjasama dimasa yang akan datang.
7. Advokasi untuk menanggulangi penderitaan pekerja migrant melalui kampanye dan loby baik didalam maupun diluar negeri.
8. Melakukan riset, dokumentasi dan publikasi untuk memperlengkapi dan mendukung pelayanan dan program dengan jaringan kerjasama perempuan dan mereka yang sudah ada serta jaringan kerjasama lainnya.
9. Mendirikan sebuah klinik kesehatan untuk memeriksa kesehatan setiap calon TKI (W) yang akan keluar negeri dan juga untuk memonitor dan mengantisipasi penyebaran HIV dan AIDS lewat para TKI (W).
10. Pembuatan poster mengenai penyadaran akan hak dan kewajiban TKI (W) dan calon TKI (W) di Tana Toraja.
11. Merencanakan sebuah tempat pelatihan/pembekalan para TKI (W) sebelum berangkat ke luar negeri untuk mencari ataupun bekerja.
12. Pendapingan bagi TKI (W) yang bermasalah.
VII MEMBANGUN KERJASAMA DENGAN LEMBAGA KEAGAMAAN DAN PEMERINTAH DAERAH
Melihat persoalan yang ada di lapangan, maka persoalan tersebut tidak akan mungkin dikerjakan sendiri-sendiri oleh sebuah lembaga atau badan. Pekerjaan yang demikian memerlukan kerjasama yang sinergi. Untuk itu usulan kami sebagai berikut:
7. Dalam rangka melaksanakan kegiatan pendampingan bagi calon TKI (W), TKI (W) yang sudah melaksanakan tugasnya diberbagai negara utamanya Malaysia maka dipandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan pihak Gereja dan lembaga keagamaan di Tana Toraja, pemerintah Tana Toraja dan pihak terkait yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut diatas.
8. Membuat selebaran mengenai informasi yang amat diperlukan bagi setiap calon TKI (W) yang akan berangkat ke luar negeri mencari pekerjaan.
9. Membuat sosialisasi mengenai persoalan disekitar TKI (W) lewat radio di Tana Toraja ataukah media lain yang ada di Tana Toraja.
10. Dalam membangun kerjasama ini tentu diperlukan partisipasi dari semua pihak guna mencapai tujuan yang dimaksud sehingga kami tentu akan senantiasa menjalin komunikasi guna membangun kerjasama dalam melaksanakan program kerja.
11. Membangun kerjasama dengan para mantan TKI (W) yang sudah tinggal di Tana Toraja dan daerah lainnya.
VIII. CATATAN AKHIR
Apa yang kami ungkapkan dan coba rumuskan diatas, barulah merupakan pokok-pokoknya yang tentunya, nanti akan kita rumuskan dalam bentuk yang lebih mendetail dalam rangka mengoperasionalkan dilapangan dalam bentuk porgram kerja.
Akhirnya atas segala perhatian, bantuan dan kerjasama yang diberikan kami aturkan banyak terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar