Bahan refleksi seorang pemuda Gereja dalam konsultasi Pendeta Gereja Toraja pada tahun 1999.
Sebuah catatan yang lebih berorientasi soal praktis dan mungkin kritis dari seorang pemuda Gereja sebagai sebuah pengalaman di lapangan dalam bentuk penglihatan langsung, diskusi, dan beberapa referensi2 dan tidak semua apa yang kami ungkapkan berlaku untuk (bagi) semua pendeta tetapi ada yang demikian. Jadi tidak boleh digeneralisasi bahwa semua pendeta demikian akan tetapi ada satu dua yang demikian. Jadi hanya sebagai koreksi, perenungan dan intropeksi diri dari tulisan ini bagi Pendeta.
1. Pendahuluan.
Pertama sekali Saya memohon maaf kalau dalam tulisan ini ada hal-hal (dan mungkin) yang menyinggung ataukah perasaan Bapak/Ibu selaku pendeta3 sekalian, namun semua itu dalam kerangka untuk memaparkan suatu pendapat, kritikan, perasan, dan harapan dalam pandangan seorang pemuda4, dalam menggagas suatu harapan ke depan. Selain itu kritikan, harapan yang terungkap hanya semata dilandasi oleh kecintaan akan pelayan (pendeta) sebagai hamba Tuhan, kecintaan kepada Gereja (dalam artian luas) dan suatu harapan akan profil seorang hamba Tuhan di dalam melayani diladang Tuhan (dalam istilah banyak orang).
Apa yang tersaji disini merupakan pendapat seorang pemuda terhadap kehadiran pendeta dalam konteks ideal dan dalam realita di lapangan menurut penglihatan sehari-hari, perasaan dalam kehidupan berjemaat, nuansa dalam bergaul dengan pendeta yang ada di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujungpandang, Ma’kale, Baruppu’, Lara’, Sabbang, Wotu, daerah Bugis-Makassar, Bulukumba, Palolo, Poso, Sinjai, Kalimantan, hingga ke Simbuang (bonggakaradeng), Nunukan, daerah PI dan sejumlah tempat lain yang pernah dikunjungi, bahkan beberapa gereja tetangga seperti GKI Irja, GMIM, GTM, Gereja Kristen Sumba, GMIT, GKST, GPID, GPIB, Gereja Jawa, gereja Bethany dan sejumlah gereja kelompok Pentakosta lainnya yang pernah dikunjungi dalam berbagai kesempatan baik dalam tugas jurnalistik maupun dalam rangka persahabatan dengan para pelayan dan anggota jemaat mereka. Juga dalam pergaulan dalam berbagai kegiatan di tingkat Nasional. Bahkan dalam pengalaman hidup ditengah (bersama) keluarga pendeta.
Sosok seorang pendeta sebaiknya bertindak sebagai pelayan, nabi, Gembala, pena, pengarah, pengayom, penasehat iman, pembina spiritual, pembina moral, pembina etik, wakil Allah dan hamba Allah yang dilandasi iman, kasih dan pengharapan didalam melayani. Tetapi mungkin dalam operasinalnya banyak pendeta yang bertindak sebagai birokrat gereja di dalam mengelola pelayanan. Bahkan terkadang ada yang lebih menonjolkan kedudukan, posisi, dan atribut yang melekat padanya (disandangnya), seperti ada yang mengatakan “saya ini kan pendeta!”5 (Dalam hal ini seorang pendeta memakai jabatan kependataannya sebagai tameng untuk melegitimasi sesuatu dan ini dapat disebut sebagai arogansi). Ataukah apa memang semua yang dikatakan, dibuat, dipikirkan seorang pendeta benar semua. Kalau begitu dia (mungkin) setengah atau bahkan sudah menjadi sebuah “foto copy” dari sang malaekat.
Seorang pendeta sama seperti “manusia berumah (tinggal di dalam) kaca” sehingga siang, sore, malam ketika tidur, makan dan apa saja yang dilakukan (diperbuat) oleh pendeta dan keluarganya dilihat, disorot dengan jelas oleh anggota jemaatnya bahkan masyarakat secara keseluruhan. Pendeta (dan keluarganya) selalu menjadi sorotan dan perhatian utama dari anggota jemaat dalam seluruh tingkah lakunya. Sampai soal sepelehpun anggota jemaat perhatikan dan soroti. Satu pertanyaan kritis ialah kalau pendeta itu sudah tidak “diperhatian” lagi oleh warga jemaat yang dilayaninya lebih baik minta pindah saja karena itu pertanda tidak dibutuhkan lagi oleh jemaat.
2. Siapakah pendeta itu?.
Panutan dan contoh yang paling utama adalah Tuhan Yesus sebagai Gembala yang Agung. Dan untuk itu kalau kita mau menggagas mengenai profil seorang pendeta maka tentu kita akan bercermin kepada Yesus Kristus sebagai Gembala yang agung. Bukankah pendeta juga sama dengan gembala?. Tetapi mungkin terlalu idealis kalau kita katakan sama dengan sang Mesias, tetapi mau tidak mau harus bercermin kepada sang gembala agung itu yang akan dijadikan panutan di dalam kehidupan sang pendeta itu. Pendeta itu pimpinan umat, penasehat spiritual, penasehat moral dan berbagai sebutan lain bagi seorang pendeta.
Ketika masih kecil, dalam alam berpikir saya, dia itu bagaikan setengah malaikat, sangat dihormati, pemberi nasehat, selalu membawah berkat, tidak pemarah, tidak suka cemburu, selalu tersejum, selalu menegur (ramah), tidak akan memilih tempat sebagai tempat melayani, selalu tanggap terhadap soal-soal sosial kemasyarakatan, memberi penghiburan bagi yang berduka, tidak memilih lorong atau jalan raya, pedalaman atau kota, jalan kaki atau naik mobil, lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri.
3. Manusia super dan khotbahnya
Khotbah pada hari minggu ada kesan lebih banyak membaca bahan khotbah yang sudah dicetak dan kurang mengadakan persiapan untuk neyesuaikan dengan konteks kehidupan dan lingkungan warga jemaat, informasi terkini, sehingga kalau ke gereja beribadah pada hari minggu sering kecewah karena khotbahnya tidak menarik, tidak tahu pokok apa yang dikhotbahkan, apa yang akan membangun iman/menguatkan iman, dari khotbahnya apanya yang menghibur, apanya yang membawah suasana baru dalam kehidupan beriman kita dan sederetan pertanyaan lainnya, maka kami sebagai warga jemaat akan pulang dengan kecewah. Untuk itu para pendeta hendaknya memperhatikan audens dan pola hidup, adat istiadat warga jemaat agar lebih gampang masuk ke dalam entri point dalam sebuah khotbah dan pembinaan.
Komunikator ulung
Ingatlah bahwa pendeta itu harus bertindak sebagai seorang “komunikator ulung” dari atas mimbar dalam menyampaikan Firman Tuhan.
Dalam soal posisi sebagai garam dan terang (lilin yang menyalah) dunia mungkin masih perlu direnungkan ulang bagi para pendeta. Banyak yang memakai garam dan lilin itu dibatasi oleh dogma, tembok gereja6 sehingga mereka merasa bahwa garam dan lilin itu harusnya (hanya ditujukan) kepada warga yang dilayaninya.
Bagi pendeta mempunyai kewajiban untuk mengarahkan tentang khotbah atas mimbar7. Kalau sekarang ini lagi ramai dibicarakan mengenai pornografi lewat media massa, reformasi, soal judi dan sabung ayam, kupon putih, reformasi, keadilan, korupsi, dan berbagai persoalan sosial yang sedang dihadapi bangsa dan negara kita, masa depan yang penuh tanda tanya dengan kondisi yang kita alami sekarang ini. Sebaiknya pendeta dalam menyampaikan khotbahnya akan memberikan jawaban dan ketenangan atau pandangan Alkitab mengenai persoalan-persoalan yangh demikian.
Dalam soal menyampaikan khotbah hari minggu perlu ada “entri point” seperti informasi aktual lewat televisi, surat kabar, majalah dan media lainnya yang ada hubungannya dengan khotbah. Mungkinsebelum khotbah pagi seorang pendeta perlu membaca koran pagi ataukah berita pagi sehingga dapat dijadikan “entri point” dan hal ini yang akan cukup menarik bagi warga jemaat untuk mendengarkan khotbah selanjutnya.
Ada khotbah pendeta yang semuanya keliling Israel8 yang penuh kesenangan, penuh sejarah, penuh ceritera indah, ceritera perjuangan dan berbagai bentuk lainnya yang indah dan menyenangkan, tetapi semuanya itulah yang menghiasi khotbahnya hingga selesai. Kalau mau dipikirkan maka kita sama dengan ceritera roman dan tidak/kurang berisi lagi siraman rohani, penghiburan, teguran ajakan, tidak ada yang dapat direfleksikan kedalam kehidupan, bagaikan orang kuliah, artinya apa yang disampaikan hanya menyentuh “dunia ilmu/intelektual” dan tidak menyentuh iman percaya kita atau memberikan nilai-nilai iman Kristen terhadap suatu persoalan yang sedang dan akan dihadapi.
Pendeta itu sebenarnya “manusia super” tetapi bukan super mie. Kalau super mie maka dia tidak mempunyai pendirian. Super mie itu mau diapakan saja oleh penggunanya okey saja. Mau makan kering, setengah kering, panas, dingin, setengah panas, campur daging, campur sayur okey saja. Pokoknya mau diapakan sajaoleh konsumen okey saja. Kalau pendeta demikian apa jadinya?.
Pendeta dalam doa syafaatnya sering melupakan pemuda (anak-anak dan pemuda) khususnya dalam pergumulan pemuda di dalam kehidupannya sebagai pemuda di dalam menghadapi tantangannya seperti dalam mencari jodoh.
Pendeta (ada) yang lebih banyak mengurus orang tua dan kurang mengurus Sekolah Minggu, Madya dan pemuda. Kalau kita jujur dalam lingkungan Gereja, mungkin saja Sekolah Minggu, Kebaktian Madya (remaja) dan pemuda itu ada sekitar 50 % dari seluruh warga jemaat. Jadi kalau perlu perhatian lebih dan pelayanan banyak diarahkan kepada generasi muda (dhi. Sekolah Minggu, Madya dan Pemuda) dan jangan hanya soal semboyan perhatian lebih tetapi implikasinya apa?. Merekalah yang kita selalu dengungkan sebagai generasi masa depan, generasi pelanjut, tulang punggung, generasi penuh harapan masa depan bangsa dan negara. Bagaimana hal ini dapat terwujud kalau tidak dipersiapkan dengan baik. Jadi jangan bermimpi masa depan yang lebih baik dari masa depan gereja kalau tidak dipersiapkan dengan baik sekarang ini.
Apakah kependetaan itu masih dilihat sebagai sebuah profes i ataukah masih dilihat sebagai sebuah panggilan Iman. Ataukah bagaimana pandangan pendeta mengenai tugas kependetaan itu sendiri?.
Pendeta perlu mendidik warga jemaat untuk mau dan dapat menerima soal beda pendapat9 di dalam kehidupan warga jemaat, tetapi satu pertanyaan kritis: Apakah pendeta itu sendiri sudah dapat menerima perbedaan pendapat?. Hal ini mungkin dilatar belakangi kesenangan pendeta mendengarkan paduan suara di jemaat?.
4. Terpanggil atau sebuah keterpaksaan
Sering seorang pendeta atau calon pendeta orang mengatakan bahwa dia terpanggil untuk melayani. Persoalan keterpanggilan menurut pemahaman pendeta, soal kesiapan melayani secara full time bukanlah ukuran yang harus dipakai untuk mengatakan bahwa dia benar-benar terpanggil. Pertanyaan kritis saya: apa benar terpanggil?. Mungkin saja dipaksa, atau terpaksa, atau pelarian dan berbagai bentuk motivasi lainnya. Benarkah rasa keterpanggilan untuk melayani terhadap seorang pendeta?. Atau kalau masuk denga keterpaksaan hendaknya ada pertobatan dan penyerahan diri secara utuh dalam rangka pelayanan. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban disini akan tetapi hendaknya itu dijadikan perenungan setiap pendeta untuk menjawabnya sendiri dalam hati, bahkan akan terjawab sendiri lewat tindakan, sikap, perbuatan di dalam pelayanannya sebagai hamba Tuhan yang setia di ladangnya.
Apakah bisa dikatakan terpanggil kalau gajinya terlambat satu minggu sudah bersungut-sunggut, kurang didengar pendapatnya marah-marah, melayani secara otoriter (apa yang dikatakannya itulah yang paling benar), kurang menarik simpati dari warga jemaat, tidak mau dikritik, suka arogan, tinggi hati, suka menang sendiri, gila hormat, suka berlindung di ketiak tokoh masyarakat, berlindung dibawah ketiak penguasa, penuh dendam, suka murung, suka marah dan sebagainya. Soal keterpanggilan, hal itu akan nyata di dalam hati, pikiran, perkataan, tingkah laku dan perbuatan di dalam pelayanannya.
Pendeta yang terlalu banyak keluhannya adalah gambaran pendeta yang pesimis. Setiap kali bertemu dengan temannya hanya keluhan yang muncul (menjadi pokok pembicaraan) dan jarang membicarakan soal kegembiraan, keberhasilan dan harapan dalam pelayanan. Soal keluhan wajar saja tetapi itu dalam kerangka perbaikan serta koreksi untuk lebih maju dalam soal pelayanan.
5. Pastori dan pasilitasnya
Ada sejumlah pendeta yang tinggal di pastori dan rumah jabatan pendeta yang mungkin pinjaman, atau kotrakan. Tetapi satu keprihatinan yang selalu muncul ketika mengunjungi jemaat-jemaat ialah daya dukung pastori dalam pelayanan seorang pendeta, seperti hanya dua kamar tidur, tidak ada ruang belajar pendeta, tidak ada kamar mandi dan WC, ruang tamu yang kurang memadai. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian dari pendeta kalau mau membangun pastori. Sebaiknya perlu juga ruangan khusus untuk konseling, ada kamar tidur untuk tamu10
6. Evaluasi dari pelayanan11
Sering para pendeta hanya mengelu karena semakin kurang orang masuk ke gereja pada hari minggu, kurang laki-laki ke kebaktian rumah tangga dan berbagai keluhan lainnya soal kehadiran dan partisipasi warga jemaat. Hal ini perlu dikaji apa yang menyebabkannya. Mungkin khotbahnya yang tidak membangun lagi, ataukah sistim pelayanan yang tidak menyentuh kebutuhan jemaat, ataukah model pelayanan gereja selama ini tidak lagi menarik (karena bentuk pelayanan terlalu monoton dan bahan yang dipakai/dibahas atau cara penyajiannya yang tidak menarik lagi bagi warga jemaat) dan tidak dibutuhkan lagi warganya mengenai model dan bentuk kepelayanan. Jadi ini terjadi tentu ada penyebabnya. Untuk itu sebaiknya para pendeta sebagai manajer, ketua MG bersama dengan MG lainnya mengadakan diskusi untuk mencari jalan keluar dan jangan hanya mengelu dan mempersalahkan warga jemaat karena semakin kurang ke gereja dan kebaktian RT. Hal ini yang masih sangat kurang diberbagai lingkungan dalam Gereja12
Mungkin juga seorang pendeta hanya melaksanakan/memprogramkan pelayanan yang sama saja dari tahun ke tahun dan kurang mengembangkan bentuk pelayanan untuk menjawab persoalan dan kebutuhan serta persiapan mental, pikiran terhadap apa yang akan dihadapi warga jemaat. Dan bagaimana kalau ada pendeta yang lari dari jemaat siapa yang harus disalahkan?. Apakah yang bersangkutan atau siapakah?.
7. Membangun jiwa militansi13
Kalau kita melihat secara nyata, banyak pendeta yang tidak memiliki jiwa militansi pelayanan khususnya yang masih muda. Sebaiknya pendeta itu memiliki jiwa militansi, semangat, roh kepelayanan, sehingga apa yang kita harapkan yaitu pendeta dapat membangun iman warga jemaat yang militansi kalau pendetanya sendiri tidak memiliki jiwa militansi.
Selain itu perlu menerima perbedaan pendapat baik dalam jemaat, lingkungan sekitar (masyarakat). Mungkin hal ini perlu dikembangkan, bukankah pendeta itu sulit menerima perbedaan pendapat dalam pelayanannya. Bukankah selama ini kalau ada MG, anggota jemaat yang tidak mengikuti kemauan pendeta maka yang bersangkutan dihitung pembangkang, merongrong dsb.
Mungkin pendeta harus lebih banyak belajar dari para wartawan dalam hal militansi, semangat juang, pola pendekatan, pola menggali data, semangat sabar dan soal pantang menyerah didalam menggali data dan informasi.
8. Pendeta dan dunia politik.
Suatu harapan bagi pendeta yang aktif di dunia politik adalah menyatakan yang benar kalau memang benar atau yang salah kalau memang salah, tetapi kenyataan di lapangan ada pendeta yang aktif di dunia poltik tidak lagi mencerminkan suatu perkataan sebagai seorang pendeta. Kalau demikian lebih baik jangan aktif di dunia politik. Kalau mau tanggalkanlah kependetaan itu.
Kalau pendeta jemaat terlibat dalam dunia polotik maka akan sangat sulit untuk berkhotbah kepada warga jemaat keculai jika anggota jemaatnya semua sesuai pilihan pendetanya. Tetapi bagaimana kalau berkhotbah di jemaat lain. Walaupun apa yang diungkapkan benar, tetapi akan senantiasa timbul suatu kecurigaan dan rasa tidak percaya dari warga jemaat yang tidak sejalan dengan garis politik dari sang pendeta. Akan lebih terhormat kalau pendeta itu selaku penasehat di dalam dunia politik. Saya tidak pernah yakin dan percaya kalau seorang pendeta masuk dalam dunia politik (partai) masih dapat menyuarakan suara kenabiannya secara benar karena dia sudah suara kenabiannya sudah dibatasi oleh perjuangan dan kepentingan partai politik yang diwakilinya.
9. Kenapa pembangunan fisik lebih besar
Kalau kita melihat pembangunan yang dilaksanakan sekarang ini oleh jemaat-jemaat lebih besar biaya pembangunan secara pisik (khususnya gedung gereja) dibandingkan dengan pembangunan iman (pelayanan), pembinaan latihan keterampilan dan berbagai hal dalam rangka pembangunan SDM. Sebaiknya pendeta yang adalah ketua Majelis Gereja, ketua Klasis, ketua Wilayah dan ketua Umum pada tingkat Sinode, lebih menitik beratkan pada pembangunan SDM dalam pengetian luas. Bukankah kalau warga jemaat itu sudah dibina, dibangun dengan baik oleh Gereja secara lembaga, maka akan timbul sendiri kesadarannya didalam memberi persembahan yang akan digunakan untuk membangun pisik dan pembangunan SDM berikutnya. Jadi perlu konsep membangun manusia pembangun.
10. Perkunjungan
Seorang pendeta perlu melaksanakan kunjungan kepada yang sakit, malas ke gereja ataukah yang mengalami sesuatu persoalan. Lebih baik jangan mengunjungi di hari bahagia daripada tidak mengunjungi di saat mereka mengalami kesusahan.
Selain itu di kota bear seperti Jakarta, perlu ada hubungan lewat telepon bagi yang mengalami persoalan, sakit, mengecek kenapa tidak ke gereja dan berbagai persaoalan lainnya. Jadi tidak selalu harus kunjungan dari rumah ke rumah. Bayangkan kalau jaraknya sampai sepuluh kilometer lebih atau bahkan 30-an kilometer seperti di Surabaya. Jadi persoalan perkunjungan perlu suatu pendekatan dengan mengunakan kemajuan teknologi. Jangan diperhamba oleh teknologi.
11. Oikumene dan Pergaulan dengan agama lain14
Bidang Oikumene perlu dimiliki oleh seorang pendeta, sehingga tidak saling mengadili, menghakimi, menjegal, memaki-maki dengan gereja dan aliran lain, saling menghina, melainkan saling menghormati, saling menegur untuk membangun kebersamaan, saling memberi pemahaman. Bagaimana kita mau bersatu kalau sesama kita orang Kristen demikian adanya. Soal pengrusakan gedung gereja dan betuk lain dari penganiayaan orang Kristen di Indonesia selama ini memberi makna lain (selain negatif dimana sudah lebih 600 gedung gereja dibakar atau dirusak) tetapi juga membuat sesama orang Kristen yang berbeda dogma, aliran, terutama antara anggota PGI dan yang aliran Pentakosta dan Karismatik bisa duduk dan mengadakan dialog karena sama-sama menderita. Itulah sisi positif dari hal penganiayaan orang Kristen (dan fasilitasnya) di Indonesia selama ini.
Diantara sesama kita orang Kristen saja sering cakar-cakaran, apalagi mau membangun dialog dengan agama lain. Dan soal dialog dengan agama lain amat (sangat) perlu sehinga kegundahan, kecurigaan, issu dan berbagai persoalan disekitar perbedaan agama, kelompok masyarakat dapat diantisipasi dan didialogkan atau paling tidak diminimalkan. Akan tetapi bagaimana kalau pendeta itu lari ke gereja untuk membangun kekuatan?. Ini persoalan!.
12. Menyalah gunakan kependetaannya
Terkadang seorang pendeta dalam kedudukannya sering menyala gunakan kedudukannya, dia memberi sesuatu legitimasi atas saran/pendapat dan perintahnya, kalau ditolak sering mengatakan bahwa “Saya ini kan pendeta”. Atau mengunakan mimbar sebagai ajang untuk membalas dendam atau menegur secara apriori terhadap warganya, mengunakan kedudukannya dalam berbagai posisi tertentu dengan bertopengkan kependetaan yang disandangnya, padahal, kalau kita meneliti lebih jauh maka dia sebenarnya mempergunakan salah jabatan kependetaan yang ada di pundaknya.
13. Perlu peningkatan pengetahuan
Perlu buku bacaan umum selain buku-buku perkembangan pemikiran teologia dan buku-buku lainnya yang dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan, pemahaman, di dalam rangka pelayanan. Tetapi dalam kenyataannya banyak rumah pendeta yang buku keputusan lebih banyak daripada buku bacaan lainnya. Buku referensi yang dipergunakan (masih ldidominasi) buku yang dibeli ketika masih kuliah. Jadi buku tambahan yang ada lebih banyak buku keputusan daripada buku peningkatan pengetahuan dalam rangka pelayanan. Hal ini tentu nyata dari khotbahnya yang lebih banyak mengungkapkan segi aturan, keputusan persidangan dibandingkan dengan pemahaman dalam rangka membangun iman. Dengan demikian ada kesan dalam mendengarkan khotbah bahwa isinya adalah penjelasan keputusan persidangan
Dalam menghadapi tugas sehari-hari yang begitu kompleks maka sebaiknya para pendeta mengadakan sharing dengan sesamanya pendeta (hal yang cukup mengembirakan ialah adanya pertemuan rutin para pendeta yang dilaksanakan baik se kota ataukah se Klasis sebagaimana dalam lingkungan Gereja Toraja ada pertemuan pendeta se kota Madya Ujungpandang). Hal ini perlu dikembangkan. Kalau pendeta itu seorang diri di klasisnya, dapat sharing dengan teman pendeta dari klasis lainnya.
Untuk itu pulalah sebaiknya seorang pendeta secara berkala paling kurang satu kali setahun mengikuti salah satu kegiatan seperti seminar, diskusi, pelatihan, ceramah, simposium, konperensi, konsultasi dan kegiatan lainnya guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan (skill) dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan mutu kepelayanannya.
14. Sahabat bagi semua
Seorang pendeta hendaknya menjadi “ayah”, “saudara”, “sahabat”, “teman bermain”, “tempat curahan hati”, teman diskusi, penyiram hati yang dahaga, pembina rohani, penasehat, pemberi jalan keluar, contoh dalam masyarakat yang ditokohkan, seorang wakil Allah ditengah dunia ini, menyuarakan suara kenabiaan dimana perlu (tetapi selama ini lebih banyak yang mengikuti dunia ini, sehingga tindakan dan nasehatnya mengikuti apa yang dinginkan dunia ini dan bukannya menyuarakan suara kenabian), memberikan pertimbangan etis, menjadi pendamping bagi yang terpencil, terisolasi, teraniaya, tertindas, terabaikan dan berbagai persoalan hidup yang dihadapi warga jemaat. Janganlah pendeta (tidak semua) yang kalau mau ditempatkan lebih mempertimbangkan soal jaminan hidup daripada soal pelayanan. Kalau ada pendeta yang mengatakan: Apa atau program apa yang harus saya kerjakan kalau saya melayani di jemaat A untuk menjawab persoalan yang dialami/dihadapi jemaat, maka tentu pendeta tersebut adalah pendeta langkah.
Pendeta itu harus mampu mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat, baik politik, perkembangan sosial, budaya, adat istiadat, membangun relasi dengan masyarakat majemuk, relasi dengan berbagai golongan keagamaan, relasi dengan pemerintah, relasi dengan tokoh masyarakat, dengan kelompok anak gelandangan dan berbagai kelompok dalam masyarakat. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi/muncul rasa saling curiga.
15. Pendeta wanita
Persoalan gender di kalangan warga jemaat masih tampak jelas. Untuk itu sudah waktunya hal itu kita hapuskan dari kamus kehidupan berjemaat kita. Sejumlah wanita sudah membuktikan bahwa tidak seperti yang dibayangkan orang selama ini. Untuk itulah sudah waktunya ada beberapa wanita duduk bagai ketua Klasis15, ketua wilayah bahkan harapan dan dambaan kalau dapat dalam memasuki abad XXI kalau perlu wanitalah yang akan menjadi ketua Umum Sinode Gereja Toraja dan juga di beberapa gereja di Indonesia wanita kalau dapat tampil sebagai pemimpin dan memainkan peran penting pada segala lini, jangan hanya GKST yang pernah dipimpin wanita (dan satu-satunya di Indonesia sekarang ini sehingga menjadi sejarah) tetapi kenapa tidak untuk Gereja-gereja lain di Indonesia.Perempuan dan laki-laki hendaknya sama-sama memainkan peranan ganda dan jangan sama selama ini hanya selalu dikumandangkan peran ganda perempuan sedangkan laki-laki selalu pada posisi peran tunggal untuk itu laki-laki juga perlu peran ganda).
Di era abad XXI merupakan era kebangkitan agama-agama dan juga ditandai dengan peranan kaum wanita lebih meningkat sehingga laki-laki juga harus siap untuk mengambil peran di rumah di dalam mengangkat tugas (dan juga pendeta laki-laki) yang selama ini kita pahami sebagai tugas wanita.
Untuk pendeta yang keduanya (suami - istri) melayani dalam tugas sebagai pendeta jemaat tentu ini membawah konsekuensi tersendiri dan pengertian yang cukup mendalam teristimewa kepada sang suami. Jangan suami selalu (mau) harus dilayani oleh istri yang juga sebagai pendeta. Perlu suatu toleransi dan pengertian dalam kesetaraan tugas tetapi tetap dalam sendi-sendi keluarga. Suami jangan terlalu banyak menuntut. Pahamilah dia dan istri hendaknya juga tetap dalam dua posisi yaitu sebagai pendeta, istri yang setia dan keduanya harus penuh perhatian satu terhadap yang lain.
Persoalan lain, ialah soal panggilan bagi istri pendeta selama ini yang selalu dipanggil “ibu pendeta” (walaupun istri pendeta itu bukan pendeta dan hanya suaminya yang pendeta) sebaiknya dicarikan sebutan (panggilan) yang lain. Hal ini untuk membedakan dengan pendeta wanita yang dipanggil Ibu pendeta (karena memang dia pendeta). Jadi kalau istri pendeta tetap dipanggil Ibu pendeta dan pendeta wanita dipanggil Ibu pendeta maka sulit dibedakan pendeta asli dan istri pendeta karena keduanya dipanggil Ibu pendeta. Jadi ada semacam ketidak adilan.
16. Organisasi dan pelayanan
Keluhan yang sering terdengar dari warga jemaat ialah bahwa pendeta mereka lebih banyak mengurus (melaksanakan fungsi) organisasi dari pada melayani. Pendeta jemaat memang harus (perlu) ikut organisasi utamanya intern tetapi jangan lebih banyak waktu digunakan untuk mengurus organisasi daripada melaksanakan tugas pelayanan. Kalau memang penuh waktu untuk mengurus organisasi, seperti tingkat Klasis, Wilayah, dan Sinode, maka tidak perlu lagi memegang jemaat. Organisasi itu hanyalah sebagai alat/sarana untuk mencapai tujuan pelayanan dan bukan betujuan untuk dirinya sendiri.
17. Membangun manusia pembangun
Salah satu hal yang sering kurang mendapat perhatian dalam pelayanan Gereja selama ini adalah soal pelayanan kepada anak Sekolah Minggu dan Kebaktian Madya. Pelayanan kepada mereka sering Majelis Gereja hanya (banyak) yang menyerahkan kepada pembimbing dan kurang memperhatikannya. Padahal, kalau kita mau jujur dari segi jumlah mereka lebih banyak, dari segi potensi mereka inilah yang paling potensial. Mereka ini adalah generasi pelanjut. Merekalah yang sangat membuthkan perhatian, pembinaan, arahan. Kenapa mereka sering dipinggirkan, kurang diperhatikan sehingga sering ada kebaktian mereka yang harus libur. Kenapa pembimbing yang dipersalahkan, kenapa bukan Majelis Gereja (MG) yang harus mengambil alih soal pelayanan. Secara keseluruhan Majelis Gerejalah yang harus bertanggungjawab terhadap pelayanan. Jadi kalau Sekolah Minggu dan pelayanan Madya (remaja) ttidak dilayani maka Majelis Gerejalah yang harus mencari jalan keluar sehingga pelayanan dapat berlangsung dan jangan menyalahkan pengurus atau pembimbing. Ada MG yang tidak memberi pelayanan secara baik kepada SMKM. Soal anggaran mungkin tidak mencapai 10 % sedangkan kalau dihitung secara prosentase dari warga jemaat mungkin saja kelompok ini antara 30-50 %. Dapatkah keseimbangan APBJ mencapai 25-40 % untuk pembinaan dan pelayanan sekolah minggu termasuk membangun fasilitas pelayanan yang diperuntukkan bagi mereka.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari pendeta ialah soal pelayanan kepada Sekolah Minggu, Madya (remaja jangan sampai pembimbing itu “ngambek” tidak mau membimbing lagi hanya karena mereka kurang diperhatikan.
Soal perhatian lebih yang didegungkan selama ini mungkin dihapus saja. Jangan mengganggap sudah perhatian lebih kalau proposal kegiatannya ditandatangani, kalau sudah menghadiri rapat mereka. Pemuda itu perlu dituntun, diberi nasehat, ditegus, didampingi, diarahkan, sehingga tidak cukup kalau hanya memberikan uang, menandatangani programnya, meminpin ibadah mereka. Jadi masih perlu perumusan ulang terhadap perhatian (dan bukannya perhatian lebih) kepada Generasi muda.
18. Empat point penting
Positif (terbuka terhadap yang baik), kreatif (dibimbing oleh roh Pencipta mengganti yang lama dan usang dengan yang baru sesuai rencana keselamatan Allah) dalam mengembangkan kepelayanan dalam membangun iman warga jemaat, kritis (melihat segala sesuatu dalam terang Firman Allah) terhadap setiap persoalan/perkembanganyang ada dan realistis (waspada akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak hanyut dalam impian kosong16
19. Pertemuan istri pendeta, suami pendeta dipinggirkan?17
Selama ini, ada pertemuan istri-istri pendeta, kenapa tidak diikutkan suami atau paling tidak ada wadah pertemuan suami-suami pendeta khususnya yang bukan pendeta. Seharusnya dalam pertemuan semacam ini lebih banyak digumuli bagaimana untuk mendukung pelayanan suami atau istri dalam posisi mereka. Pertemuan para suami pendeta juga agar diagendakan pakah digabung dengan istri pendeta ataukah ada suatu furum khusus bagi mereka dimasa akan datang. Hal ini untuk memberikan bekal, sharing pengalaman di dalam mendapingi suami/istri mereka sebagai pelayan.
20. Manajer atau birokrat18
Salah satu persoalan yang umum dihadapi oleh pendeta khususnya pendeta jemaat adalah antara manajer pelanan dan birokrat pelayanan. Akan tetapi pada umumnya pendeta itu lebih pada posisi birokrat gereja mulai dari tingkat jemaat hingga ke tingkat sinode dalam pelayananya, dibandingkan tugas kenabiannya sebagai pelayan atau hamba Allah. Dalam pengamatan selama ini lebih banyak pendeta yang duduk sebagai birokrat gereja daripasa manajer pelayanan atau hamba Allah, karena kalau hamba Allah maka tentu Dia akan tunduk kepada perintah tuannya. Tetapi dalam kenyataannya tanda tanya besar mengenai hal ini. Seorang pendeta perlu memiliki semangat Amos yang memprjuangkan kedilan dan kebenaran di dalam melaksanakan tugas pelayananya19. Seorang pemimpin hendaknya menjadi contoh, mampu berkomunikasi dengan semua orang dengan baik, perlu mampu memimpin orang lain, memberikan motivasi, mempunyai otoritas, mengetahui strategi dan penuh dengan kasih20
Semangat militansi dari seorang pelayan perlu dibangun. Bagaimana mau membangun jiwa militansi warga jemaat kalau pendeta itu sendiri tidak memilikinya. Jiwa solidaritas terhadap sesama pendeta agaknya sudah mulai menipis di kalangan pendeta.
Persoalan lain ialah adanya pendeta yang karena keterpaksaan hanya dapat melayani baptisan kudus, perjamuan kudus, pemberkatan nikah, sidi sehingga digelari sebagai “pendeta sakramen”21. Hal ini banyak dialami pendeta yang melayani di desa-desa yang jauh dari kota dan ia bertanggungjawab untuk melayani tujuh hingga lebih sepuluh jemaat.
21. Serba tiga
Allah Bapa, Allah anak dan Roh Kudus yang kita percaya. Ada kondisi ideal, kenyataan dan ada harapan. Ada nilai moral, etik dan spiritual yang hendaknya kita sangat butuhkan dari seorang pendeta. Ada pendeta, penatua dan syamas para pelayan dalam gereja. Bersaksi, bersekutu dan melayani tugas (gereja) kita semua. Anak-anak, pemuda dan orang tua dalam kehidupan jemaat. Anak, Ibu dan Bapa dalam sebuah rumah tangga. Motifator, stabilisator dan dinamisator dalam rangka kehidupan pelayan. Bisa didepan, ditengah dan bisa juga dibelakang soal posisi. Apa yang dipikirkan, dikatan dan diperbuat yang merupakan kesaksian hidup dari pendeta. Daerah PI, desa, dan kota pembagian yang sering dipergunakan bagi lokasi pelayanan pendeta.
22.Pejuang tanpa sekat
Kenapa harus Roma Manguwidjaya, Buda Theresia, Abdulrahman Wahid Gus Dur), Dr (HC) T.B. Simatupang, Sabam Sirait yang menjadi idola saya. Kekagunaman terhadap mereka ini adalah karena kegigihannya di dalam perjuangan kemanusiaan terutama ditunjukkan oleh Romo Mangun dan Bunda Theresia dalam perjuangan kemanusiaanya yang dilandasi cinta kasih demi memanusiakan manusia. Sedangkan bagi Gus Dur (dan mungkin pendeta perlu belajar darinya didalam rangka menyuarakan suara kenabian), T.B. Simatupang dan Sabam Sirait adalah kekonsistensian mereka di dalam menyuarakan suara hati nurani mereka di dalam perjuangan. Kelimanya ini adalah pejuang nilai-nilai kemanusiaan yang penuh cinta kasih tanpa dibatasi oleh kesukuan, agama, ras, golongan, dan berbagai perbedaan yang sering menjadi pembatas dalam perjuangan mereka
23. Pendeta bukan manusia biasa
Diatas semua itu pendeta adalah “manusia biasa” (menurut bahasa dan istilah orang lain bahkan pendeta juga) namun menurut pemahaman dari kaca mata iman kami tidaklah menerima hal itu. Hal ini dilandasi karena seorang pendeta itu sudah diurapi dan menerima tabisan itu sebagai tanda sebagai imam bagi kawanan domba yang dilayaninya. Bahkan dalam posisinya ditengah masyarakat posisi seorang pendeta amatlah terhormat. Hal ini tentu kita tidak dapat katakan bahwa pendeta itu manusia biasa. Dia tidak sama dengan anggota jemaat biasa karena pendeta itu manusia yang sudah diurapi. Kalau sama dengan anggota jemaat biasa maka urapannya sebagai pendeta hendaknya dipertanyakan?. Namun juga perlu kita sadari bahwa seorang pendeta tidak luput dari persoalan-persoalan duniawi karena dia juga adalah manusia dan bukan malaikat. Tetapi persoalan-persoalan itu dapat diselesaikan dalam konteks iman kristiani.
24. Siapakah yang layak?
Dalam kondisi sekarang ini selalu muncul pertanyaan dalam diri ini, siapakah yang layak disebut pendeta?. Masihkah manusia yang sudah disebut pendeta itu menjadi teladan dalam perkataan, perbuatan dan tingkah laku sehari-hari?. Masih mempunyaikah hati nurani?. Masih sensitifkah terhadap persoalan yang ada dalam jemaat?. Masihkah mampu menyuarakan suara kenabiaannya?. Masihkah duduk sebagai pelayan dan hamba Tuhan yang setia ataukah hanya sekedar mencari makan (nafkah) di ladang Tuhan?. Tidakkah sesama pendeta (dan juga calon pendeta yang sedang proponen) saling mencegal di dalam tugas pelayanannya karena merasa disaingi atau mendapat saingan?. Masih dapatkah pendeta memegang teguh rahasia jabatannya?. Dapatkah pendeta dan keluarganya dijadikan surih teladan di dalam kehidupannya?. Masih seringkah lari dari jemaat?. Masikah melayani dengan penuh kasih? Masih penukah kerendahan hari?. Masih tuluskah? Sang komunikator ulung? Manusia super? Masih rendah hatikah?. Masihkan saling memaafkan?. Masih saling mendukungkah?. Masih adakah kesetiakawanan?. Dan sederetan pertanyaan lainnya.
25. Mohon maaf
Diatas semua itu pendeta adalah manusia biasa namun tidak sama dengan anggota jemaat biasa karena pendeta itu manusia yang sudah diurapi. Kalau sama dengan anggota jemaat biasa maka urapannya sebagai pendeta hendaknya dipertanyakan?. Namun juga perlu kita sadari bahwa seorang pendeta tidak luput dari persoalan-persoalan duniawi karena dia juga adalah manusia dan bukan malaikat. Tetapi persoalan-persoalan itu dapat diselesaikan dalam konteks iman kristiani.
Akhirnya mohon maaf kepada semua pendeta karena mungkin (dan tentu) ada hal-hal yang kami ungkapkan yang menyinggung perasaan, tetapi apa yang kami ungkapkan mungkin kondisi yang sangat ideal tetapi itulah kritikan, harapan masukan dari kami sebagai pemuda gereja. Sekian dan terima kasih.
Rantepao, 17 Agustus 1999
Aleksander Mangoting22
1Dasar pemikiran ini merupakan pokok pikiran penulis dalam sebuah refleksi wakil pemuda untuk seluruh “sahabat-sahabatku” pendeta se Gereja Toraja dan juga rekan dan pendeta Gereja lain yang pernah berdiskusi, bertemu dan mungkin pernah penulis baca tulisannya. Sebagian besar pokok pikiran dalamdalam tulisan ini sudah disampaikan pada konsultasi pendeta se Gereja Toraja pada tanggal 9-13 Agustus 1999 di Missiliana Hotel dhi. sebuah penilaian, kritikan, harapan akan pendeta dalam pandangan seorang pemuda Gereja dalam melaksanakan tugas pelayanannya.
2Referensi dalam tulisan ini bertujuan untuk menguatkan dan menambah guna memperjelas mengenai suatu pengamatan di lapangan. Jadi referensi ini hanya bertujuan sebagai bahan penunjang dan bukan bahan utama.
3Pengertian Pendeta dalam pandangan dan tulisan ini adalah seorang yang sudah diurapai dan memegang jabatan dan melaksanakan tugas sebagai seorang pendeta. Jadi menunjuk kepada pribadi-pribadi yang sudah diurapi menjadi pendeta dan bukan dalam kapasitas/posisi jabatan pendeta.
4Pengertian Pemuda menurut Saya ialah mencakup anak Sekolah Minggu, Madya dan yang kita sebut pemuda dalam gereja. Hal ini tentu dilatar belakangi oleh keaktifan kami yang dimulai dari pembimbing, kemudian pengurus Sekolah Minggu dan pengurus Persekutuan Pemuda Gereja Toraja dan juga keaktifan di dalam berbagai kegiatan ditingkat lokal dan Nasional.
5Hal ini, sering diungkapkan oleh warga jemaat dan beberapa pemuda kepada kami mengenai pernyataan pendeta (oknum), bahkan sering pernah kami sendiri yang mendengarkan pernyataan demikian yang diucapkan seorang pendeta guna memperkuat (meligitimasi) terhadap sesuatu pendapatnya yang mendapatkan tanggapan/penolakan dari orang lawan bicaranya. Tetapi sebenarnya hal demikian tidaklah harus demikian.
6Kalau ada persoalan dan kepentingan sosial untuk umum selalu bertanya bagaimana apakah ada anggota jemaat kita disitu. Kenapa di tempat itu, disana tidak ada anggota gereja kita. Namun seharusnya kita harus berpikiran sebagai garam dan terang (lilin) yang harus disaksikan oleh orang lain dan bukan hanya dibatasi oleh rumah dan dogma kita.
7Dalam suatu kesempatan dalam sebuah diskusi dengan beberapa rekan pemuda mengatakan bahwa kalau hanya dibaca dari mimbar buku kumpulan khotbah dicetak banyak/ditunjukkan supaya kita beli dan dibaca di rumah masing-masing setiap hari minggu bahan yang sudah disusun untuk minggu itu.
8Tetapi pemahaman yang diberikan Pendeta mengenai Israel adalah pemahaman Israel perjanjian Lama, tetapi masih dipahami masih seperti Israel kini. Padahal dalam kenyataannya Israel dahulu (PL) berbeda dengan Israel sekarang. Sebaiknya pendeta mengetahui kondisi Israel sekarang atau paling tidak nilai-nilai apa yang ada di balik Israel itu.
9Untuk pemahaman lebih jauh mengenai hal ini dapat membandingkan dengan pendapat Prof. Dr. J.E. Sahetapy,SH,MA: Warga Jemaat Harus dididik bisa menerima Perbedaan pendapat, laporan A.Mangoting dalam Berita Oikumene hal 13-14 edisi Juni 1999.
10Sering dalam perkunjungan ke jemaat-jemaat dalam lingkungan Gereja Toraja, persoalan WC, kamar mandi, ruang belajar untuk pastori dan tempat tinggal seorang pendeta atau proponen selalu kami tanyakan karena hal ini sangat membantu dalam persiapan, perencanaan untuk melayani.
11Dalam pemahaman kami, sangat jarang dilaksakan soal evaluasi, kalaupun itu dilaksanakan hanya seadanya dan tidaklah secara keseluruhan dan mendalam.
12Hal ini mungkin lebih baik untuk dipikirkan dan ditindak lanjuti oleh BPS Gereja cq. Pusbang agar mengadakan penelitian untuk mencari jalan keluar dan juga suatu harapan agar para pendeta mau terbuka dan menerima kritikan dan masukan dari luar dalam rangka peningkatan pelayanan.
13Menurut pemahaman dan penilaian kami, jiwa militansi di dalam melayani bagi sebagian besar pendeta Gereja sekarang ini perlu direnungkan ulang.
14Pemahaman Oikumene dalam tulisan ini adalah kebersamaan di antara orang-orang Kristen baik protestan maupun Katholik. Sedangkan agama lain ialah semua agama, baik yang diakui oleh negara maupun agama suku yang cukup banyak berkembang di Indonesia yang dalam orde baru tidak diakui sehingga dipaksa untuk bergabung dengan gama Hindu atau Budha.
15Kita dapat bandingkan ketika Pdt. Agustina Lumentut,M.Th diangkat sebagai ketua Umum Sinode GKST, Pdt.Ny.D.Anggui,S.Th di Gereja Toraj diurapi menjadi pendeta Gereja Toraja yang pertama, ketika Pdt. Riba Sinda menjadi ketua Badan Pekerja Klasis dalam lingkungan Gereja Toraja maka buletin Gereja Toraja memuatnya sebagai sebuah berita yang cukup besar. Kenapa mesti begitu.
16Hal ini juga sebagai satu pokok percakapan kami dengan Dr.T.B.Simatupang di rumahnya setahun sebelum dia meninggal dunia.
17Pertemuan istri pendeta Gereja Toraja sebagai contoh dan penulis tidak terlalu mengentahui pada gereja lain. Bahkan ada gereja yang tidak melaksanakan kegiatan yang demikian.
18Pemahaman manajer dalam tulisan ini adalah soal kemampuan seorang pendeta dalam melaksanakan manajerial terhadap pelayanan di Gereja sedangkan birokrat lebih menekankan pada soal memposisikan diri dalam birokrat (kekuasaan) dalam gereja untuk mengelola/melaksanakan tugas.
19Margareth Kirk: “Agustina, Wanita Masa Kini, Mediator, Pembangun, Pejuang keadilan” BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 208-281.
20Untuk mengetahui lebih jauh mengenai hal ini anda dapat membaca buku karangan David Hocking, Rahasia Keberhasilan Seorang Pemimpin, Yayasan Andi Yogyakarta, 1996.
21Hal ini banyak terjadi diberbagai pedalaman di Tana Air yang jauh dari jangkauan kedaraan umum bahkan untuk naik kuda saja sulit.Istilah ini sebagai istilah penulis sendiri dan belum tentu pembaca setujui.
22Penulis adalah penulis tetap pada majalah Bahana, Berita Oikumene, Penabur dan malajah Tampil di Malang serta sering menulis di beberapa media lainnya. Salah seorang pemuda Gereja Toraja tinggal di Ujungpandang..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar