Oleh: Aleksander Mangoting *
Tulisan ini merupakan respon balik dari tulisan Eliakim Sitorus, yang kalau dapat kami katakan sebagai “Abang” dalam berbagai hal. Namun yang paling utama dari semuanya itu adalah ide/pemikiran yang diungkapkan dalam tulisan Sorotan lepas: Menggagas Pelayanan Gereja Bagi Buruh di Batam, dalam Warta Jaringan Edisi Desember 2006 hal. 29-31.
Kami sangat setuju gagasan yang diungkapkan dalam tulisan tersebut. Hal ini sebagai bentuk pengalaman nyata dari apa yang kami dapatkan ketika mendampingi perekrutan tenaga kerja (buruh) untuk perusahaan industri elektronik di Batam yang dilaksanakan oleh salah satu Perusahaan rekruitmen tenaga kerja yang dilakukan di Toraja untuk merekrut bagi sejumlah pemuda asal Toraja. Dan juga ketika mengunjungi Batam Juli 2006 dan bertemu dengan sejumlah tenaga kerja asal Toraja, Sulawesi, Jawa, Sumatera (khusunya Sumatera Utara dan Nias). Dalam pertemuan yang penuh kekeluargaan melakukan banyak diskusi dengan banyak buruh, beberapa pengurus perusahaan rekruitmen tenaga kerja yang bekerja di Batam. Selain itu, melakukan percakapan dengan sejumlah orang tua dan Majelis Gereja yang ada di Batam khususnya membicarakan mengenai para tenaga kerja di perusahaan industri untuk tingkat buruh. Begitu banyak persoalan yang dihadapi, utamanya dalam benturan nilai-nilai dengan segala kompleksitasnya.
Pelayanan yang dilakukan Gereja, mengacu kepada tri panggilan Gereja yaitu: bersaksi, bersekutu dan melayani. Namun dalam menjabarkan bentuk-bentuk pelayanan itu memerlukan pengetahuan, kebijakan dan keterampilan agar maksud dan tujuan program yang dilaksanakan benar-benar sampai kepada tujuannya.
Gereja, dalam melaksanakan pelayanannya, hendaknya tetap mengacuh kepada Yesus yang melayani tidak terikat kepada aturan-aturan organisasi, tetapi melayani dalam rangka menjabarkan programnya (kegiatannya) untuk mencapai maksud dan tujuan dari program itu, sehingga apa yang dikerjakan akan menjadi contoh bagi pelayan selanjutnya.
Tenaga kerja asal Toraja.
Tiga tahun yang lalu, ada rekruitmen tenaga kerja yang akan bekerja di Batam. Kami kebetulan membantu mendampingi anak-anak yang akan mengikuti seleksi yang akan ke Batam. Begitu juga dalam pembekalan kepada mereka (lebih tepatnya, beberapa informasi awal dan apa hak dan kewajiban mereka sebagai tenaga buruh perusahaan) sejak berangkat dari Toraja, selama bekerja di Batam dan ketika kontrak mereka habis dan harus kembali ke Toraja.
Umumya tenaga kerja asal Toraja baru pertama kali untuk keluar dari Sulawesi dan bersentuhan dengan dunia yang cukup bebas dalam berbagai hal. Pada umumnya mereka mempunyai angan-angan akan mempunyai gaji tetap, dapat membeli HP, dana menikmati gaji mereka dalam asrama karyawan, bahkan beeberapa mimpi lainnya. Namun yang paling berat dari semuanya itu adalah pergumulan spiritualitas mereka ketika melihat dunia industri dengan segala kebebasannya dan kenikmatan yang ditawarkan. Ada yang bahkan sudah “lupa daratan” mereka dengan bebas menikmati segala tawaran dunia. Mereka bahkan sudah lupa, bahkan karena terpaksa tidak lagi ke Gereja untuk beribadah, dan untuk pelayanan di tempat mereka dalam soal kerohanian, sangat minim.
Mereka yang berasal dari Toraja pada umumnya berasal dari Gereja Toraja dan sebagian berasal dari GPIL, GKSS, dan beberapa gereja denominasi lainnya. Namun dalam semuanya itu, amat pantas kalau dalam keadaan demikian Gereja Toraja bertindak sebagai payung untuk semuanya itu.
Usia mudah/labil
Menilik umur mereka yang berangkat bekerja ke Batam, pada umumnya usia remaja (18-22 tahun). Jadi umur mereka belum stabil dalam berbagai hal, termasuk dalam soal pengaruh luar yang masih sangat rentan.
Jemaat Gereja Toraja di Batam
Karena begitu banyaknya orang Toraja yang bekerja di Batam, dan juga yang menjadi pelaut yang mempunyai jalur antara Batam Singapura, Malaysia, maka mereka (orang-orang Toraja) yang ada di Batam membentuk sebuah wadah yang kemudian bekembang menjadi wadah pelayanan, dan akhirnya meminta pelayanan resmi ke Gereja Toraja. Jadi Jemaat Gereja Toraja yang ada di Batam, adalah keinginan warga Gereja Toraja yang ada di Batam, dan bukan keinginan dari Kantor Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja yang ada di Toraja.
Jadi Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja tidak pernah membuka tempat kebaktian, tetapi orang-orang yang rindu akan pelayanan yang meminta pelayanan kepada Kantor Sinode Gereja Toraja untuk dilayani lewat jemaat terdekat sebagai cabang pelayanan.
Tidak tahu hak mereka
Salah satu persoalan yang dihadapi tenaga kerja asal Toraja adalah terlalu sabar untuk menerima apa saja yang diinginkan perusahaan. Artinya, menerima apa saja keputusan yang diberikan perusahaan tempat mereka bekerja tanpa mempertanyakan apa sebabnya demikian. Profil pekerja yang demikian, juga sulit untuk naik ke tempat yang katakanlah sedikit lebih lumayan.
Perlu kerjasama
Melihat kompleksitasnya persoalan yang dihadapi oleh tenaga kerja kelas buruh di Batam, maka kami berpikir bahwa perlu kerjasama yang intensif untuk pelayanan kepada mereka. Kalau pelayanan kepada para buruh diserahkan kepada jemaat untuk dilayani, nanti hanya disamakan dengan peyanan ibadah biasa, padahal pelayanan kepada para tenaga kerja buruh di Batam, perlu pemikiran dan konsep program yang lebih menyentuh dunia mereka. Para buruh perlu didampingi di dalam menghadapi berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Lembaga independen untuk pelayanan
Pelayanan yang dilakukan kepada buruh di Batam, hendaknya dilihat secara menyeluruh. Begitu juga Gereja perlu dilihat bukan soal gedungnya, tetapi orangnya, dimana pelayanan yang dilakukan itu terasa bagi objek yang dilayanan.
Dalam melaksanakan pelayanan, diperlukan sebuah lembaga independen yang bertindak sebagai ruang dimana para pelayan merancang program bagi para buruh.
Lembaga itu juga sebagai wadah tukar pikiran dalam saling memahami, terutama karena perbedaan soal budaya, asal usul dan berbagai perbedaan dari setiap tenaga kerja yang bekerja di Batam.
Pelayanan sesuai kebutuhan
Melihat persoalan bagi buruh di lapangan dan bentuk-bentuk pelayanan yang dilakukan Gereja (jemaat) yang ada di Batam, maka belumlah menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para tenaga kerja buruh yang ada. Jadi mereka sangat rentan untuk meninggalkan pelayanan gereja yang tidak menjawab kebutuhan dan pergumulan pekerjaan dan masalah yang mereka hadapi sehari-hari.
Pelayanan yang holistik
Pelayanan bagi kaum buruh, memang perlu pelayanan holistik dan diperlengkapi dengan KPKC (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) sebagaimana yang digagas Eliakim Sitorus. Dan orang yang akan melakukan pelayanan demikian perlu diperlengkapi dan dibekali khusus untuk pelayanan ini, tidak sekedar bentuk pelayanan kunjungan dan ibadah bersama sebagaimana dilakukan jemaat-jemaat selama ini.
Bagaimana tindak lanjutnya.
Dalam konteks demikian, kami berharap ke depan, pelayanan kepada para buruh di pulau Batam akan dikerjakan secara bersama dan konperehensip dalam sebuah wadah independen namun dinamis. Kami ingin terlibat dalam pelayanan ini, kalau hal itu memungkinkan. Atau paling tidak, dapat turut nimbrung dalam merancang program bagi tenaga buruh di Batam. Atau kalau memang kami sulit terlibat langsung di lapangan, mungkin dalam diskusi dan tukar pikiran kami dapat ikut terlibat.
* Penulis anggota Biro Informasi dan Komunikasi Gereja Toraja, Juga Ketua Yayasan Sangayoka tinggal di Tana Toraja.
Aleksander Mangoting
Jl. A. Yani 45 Rantepao 91831
Tana Toraja, Sulawesi Selatan
HP 081342493774
E-mail: aleksander_mangoting@yahoo.com
Senin, 11 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar