Sabtu, 12 April 2008

Politik Indentitas: Orientasi Gabungan (Agama, Etnisitas, dan atau Ruang Space) dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia..

Salah satu buah dari reformasi adalah bergulirnya otonomi daerah. Dalam menata otonomi daerah adanya ada kecenderungan munculnya “raja-raja kecil” dan peranan primordialisme yang sempit seperti kepemimpinan tradisionil “bangkit kembali” dalam bentuk-bentuk dan penampakan yang lain.

Bagi masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan, hal membangun primordialisme masa lalu yang terkadang bernuansa sempit. Hal ini dalam rangka membangkitkan indenitas masa lalu yang dalam era orde baru sudah mulai kehilangan indenitas. Hal ini cukup memunculkan gesekan-gesekan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan antar umat beragama, namun sering pula menjadi semacam peredam konflik sosial karena adanya hubungan primordialisme masa lalu.

Tongkonan sebagai sebuah instrumen. Namun dibalik semua itu, juga ada sebuah intrumen yang cukup penting di dalam kehidupan masyarakat orang Toraja yaitu peranan sebuah Tongkonan, yang juga tidak terlepas dari kekurangannya. Tongkonan merupakan sebuah rumah adat Toraja sebagai simbol rumpun keluarga. Dalam kehidupan politik Lokal di Toraja dan Sulawesi Selatan dalam PILKADA dan Pemilihan Legislatif “ornamen” Tongkonan cukup juga terasa. Banyak orang yang sementara mencari kedudukan, apakah itu untuk kepemimpinan tingkat Desa (dalam sistem kepemerintahan di Toraja disebut Lembang, sama dengan Nagari di Sumatera), kedudukan sebagai anggota legislatif Kabupaten, Propinsi bahkan untuk tingkat pusat.

Peranan simbol Tongkonan adalah salah satu instrumen cukup penting dalam rangka membangun simpati dan rasa kekeluargaan adalah lewat penuturan silsilah dari seseorang yang tentu bagi masyarakat Toraja bertumpuh pada simbol rumpun keluarga yaitu rumah Tongkonan. Bahkan terkadang, ada orang berusaha mencari garis silsilah keturunannya, yang terkadang sedikit “kabur” dan kurang jelas dengan dalih “sudah begitu lama”, apalagi dalam kehidupan orang Toraja tidak mengenal tradisi tulis, namun semuanya itu dalam bentuk tradisi lisan.

Dalam PILKADA dan pemilihan Legislatif, peranan rumah Tongkonan merupakan sebuah ornamen yang turut berperan di dalam membangun simpati dan juga dalam mengurai jaringan pengumpulan suara, bahkan juga di dalam ikut sedikit meredam konflik-konflik antar kontestan.

Tongkonan di Sangalla’. Tongkonan yang tidak pernah terlupakan di dalam rangka PILKADA baik tingkat Kabupaten maupun Propinsi adalah Tongkonan Kaero di Sangalla’. Dibawah Tongkonan Kaero, ada empat wilayah Tongkonan dan masing-masing wilayah Tongkonan itu ada 6 rumah Tongkonan dengan fungsi mereka masing-masing.

Rumah Tongkonan selain sebagai simbol satu rumpun, juga memiliki fungsi sosial tersendiri dalam tatanan kehidupan masyarakat di Toraja, sehingga dalam kehidupan keseharian, seseorang sering dindentikkan dengan dimana dia menjadi anggota Tongkonan. Kalau Tongkonan itu, memang adalah sumber pemimpin, maka keturunannya di”citra”kan untuk menjadi pemimpin. Atau paling tidak, perlu memiliki sifat-sifat sebagai seorang pemimpin. Begitu juga kalau fungsi Tongkonan itu sebagai bidang pertahanan, maka anggota Tongkonan itu harus memiliki jiwa juang dan keberanian memperjuangkan kebenaran (semacam tentara). Setiap Tongkonan selalu memiliki hak otonomi yang tidak dapat diinterfensi dari Tongkonan yang lain. Jadi sejak awal orang Toraja lewat Tongkonan sudah mengenal yang namanya otonomi “khusus” dalam sebuah Tongkonan.

Tongkonan Kaero. Salah satu Tongkonan yang tidak pernah terlupanan dalam percakapan di lingkungan orang Toraja dan kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat kalau mau menelusuri hubungan kekeluargaan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat adalah Tongkonan Kaero di Kecamatan Sangalla’. Tongkonan ini merupakan Simbol kepemimpinan masa lalu di distrik Sangalla’ dan distrik Mengkendek dan distrik Makale. Pucuk pimpinan di Tongkonan Kaero diberi Gelar Puang Palodang. Palodang sebagai simbol dari kepemimpinan dalam wilayah adat Sangalla’ adalah sosok yang hampir-hampir tanpa cela. Dalam mengangkat seorang Palodang, tidak sembarangan. Dia harus memenuhi sejumlah persyaratan dan sudah teruji sepanjang kehidupannya. Hingga kini, tidak ada lagi pemangku Palodang karena “Mungkin” tidak ada lagi yang memenuhi persyaratan.

Lewat Tongkonan Kaero inilah diurai bangaiamana tali persaudaraan dengan kerajaan Luwu di Palopo, Kerajaan Bugis, kerajaan Makassar dan kerajaan Mandar di Majene.

Burung Garuda.Soal burung Garuda, di dalam kehidupan masyarakat Toraja khususnya di Sangalla’ soal simbol burung Garuda sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Simbol burung Garuda ini amat penting dan cukup sakral di dalam kehidupan khususnya upacara-upcara dalam kaitan dengan Tongkonan dan kepemimpinannya.

Tidak membedakan agama. Salah satu hal penting dan sangat positif dalam berbicara soal Tongkonan adalah bahwa tidak perlu membedakan agama. Hal ini juga yang sering menjadi alat peredam konflik diantara kelompok masyarakat karena adanya kaitan dalam hubungan darah-daging lewat silsilah Tongkonan.

Transformasi. Berbicara soal Tongkonan pihak lembaga umat Kristen di Toraja, sudah melaksanakan transformasi nilai-nilai dan fungsi sosial yang ada dalam Tongkonan itu. Sebagai contoh: Gereja Toraja menyebut kantor Sinodenya dengan nama Tongkonan Sangullele (artinya Tongkonan menyuluruh bagi mereka yang menjadi anggota Gereja Toraja). Juga dalam berbagai konteks lain, lembaga Gereja mencoba menggali dan mengakomodir nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran mereka. Hal ini untuk memberi ruang kepada orang Toraja untuk memahami dirinya dalam konteks Toraja walaupun mereka sudah tidak memeluk agama nenek moyang mereka yaitu Aluk Todolo (agama leluhur).

Aleksander Mangoting

Jl. A. Yani 45 Rantepao 91831 Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Telp. 081342493774

Email: aleksander_mangoting@yahoo.com