Sabtu, 12 April 2008

Politik Indentitas: Orientasi Gabungan (Agama, Etnisitas, dan atau Ruang Space) dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia..

Salah satu buah dari reformasi adalah bergulirnya otonomi daerah. Dalam menata otonomi daerah adanya ada kecenderungan munculnya “raja-raja kecil” dan peranan primordialisme yang sempit seperti kepemimpinan tradisionil “bangkit kembali” dalam bentuk-bentuk dan penampakan yang lain.

Bagi masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan, hal membangun primordialisme masa lalu yang terkadang bernuansa sempit. Hal ini dalam rangka membangkitkan indenitas masa lalu yang dalam era orde baru sudah mulai kehilangan indenitas. Hal ini cukup memunculkan gesekan-gesekan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan antar umat beragama, namun sering pula menjadi semacam peredam konflik sosial karena adanya hubungan primordialisme masa lalu.

Tongkonan sebagai sebuah instrumen. Namun dibalik semua itu, juga ada sebuah intrumen yang cukup penting di dalam kehidupan masyarakat orang Toraja yaitu peranan sebuah Tongkonan, yang juga tidak terlepas dari kekurangannya. Tongkonan merupakan sebuah rumah adat Toraja sebagai simbol rumpun keluarga. Dalam kehidupan politik Lokal di Toraja dan Sulawesi Selatan dalam PILKADA dan Pemilihan Legislatif “ornamen” Tongkonan cukup juga terasa. Banyak orang yang sementara mencari kedudukan, apakah itu untuk kepemimpinan tingkat Desa (dalam sistem kepemerintahan di Toraja disebut Lembang, sama dengan Nagari di Sumatera), kedudukan sebagai anggota legislatif Kabupaten, Propinsi bahkan untuk tingkat pusat.

Peranan simbol Tongkonan adalah salah satu instrumen cukup penting dalam rangka membangun simpati dan rasa kekeluargaan adalah lewat penuturan silsilah dari seseorang yang tentu bagi masyarakat Toraja bertumpuh pada simbol rumpun keluarga yaitu rumah Tongkonan. Bahkan terkadang, ada orang berusaha mencari garis silsilah keturunannya, yang terkadang sedikit “kabur” dan kurang jelas dengan dalih “sudah begitu lama”, apalagi dalam kehidupan orang Toraja tidak mengenal tradisi tulis, namun semuanya itu dalam bentuk tradisi lisan.

Dalam PILKADA dan pemilihan Legislatif, peranan rumah Tongkonan merupakan sebuah ornamen yang turut berperan di dalam membangun simpati dan juga dalam mengurai jaringan pengumpulan suara, bahkan juga di dalam ikut sedikit meredam konflik-konflik antar kontestan.

Tongkonan di Sangalla’. Tongkonan yang tidak pernah terlupakan di dalam rangka PILKADA baik tingkat Kabupaten maupun Propinsi adalah Tongkonan Kaero di Sangalla’. Dibawah Tongkonan Kaero, ada empat wilayah Tongkonan dan masing-masing wilayah Tongkonan itu ada 6 rumah Tongkonan dengan fungsi mereka masing-masing.

Rumah Tongkonan selain sebagai simbol satu rumpun, juga memiliki fungsi sosial tersendiri dalam tatanan kehidupan masyarakat di Toraja, sehingga dalam kehidupan keseharian, seseorang sering dindentikkan dengan dimana dia menjadi anggota Tongkonan. Kalau Tongkonan itu, memang adalah sumber pemimpin, maka keturunannya di”citra”kan untuk menjadi pemimpin. Atau paling tidak, perlu memiliki sifat-sifat sebagai seorang pemimpin. Begitu juga kalau fungsi Tongkonan itu sebagai bidang pertahanan, maka anggota Tongkonan itu harus memiliki jiwa juang dan keberanian memperjuangkan kebenaran (semacam tentara). Setiap Tongkonan selalu memiliki hak otonomi yang tidak dapat diinterfensi dari Tongkonan yang lain. Jadi sejak awal orang Toraja lewat Tongkonan sudah mengenal yang namanya otonomi “khusus” dalam sebuah Tongkonan.

Tongkonan Kaero. Salah satu Tongkonan yang tidak pernah terlupanan dalam percakapan di lingkungan orang Toraja dan kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat kalau mau menelusuri hubungan kekeluargaan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat adalah Tongkonan Kaero di Kecamatan Sangalla’. Tongkonan ini merupakan Simbol kepemimpinan masa lalu di distrik Sangalla’ dan distrik Mengkendek dan distrik Makale. Pucuk pimpinan di Tongkonan Kaero diberi Gelar Puang Palodang. Palodang sebagai simbol dari kepemimpinan dalam wilayah adat Sangalla’ adalah sosok yang hampir-hampir tanpa cela. Dalam mengangkat seorang Palodang, tidak sembarangan. Dia harus memenuhi sejumlah persyaratan dan sudah teruji sepanjang kehidupannya. Hingga kini, tidak ada lagi pemangku Palodang karena “Mungkin” tidak ada lagi yang memenuhi persyaratan.

Lewat Tongkonan Kaero inilah diurai bangaiamana tali persaudaraan dengan kerajaan Luwu di Palopo, Kerajaan Bugis, kerajaan Makassar dan kerajaan Mandar di Majene.

Burung Garuda.Soal burung Garuda, di dalam kehidupan masyarakat Toraja khususnya di Sangalla’ soal simbol burung Garuda sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Simbol burung Garuda ini amat penting dan cukup sakral di dalam kehidupan khususnya upacara-upcara dalam kaitan dengan Tongkonan dan kepemimpinannya.

Tidak membedakan agama. Salah satu hal penting dan sangat positif dalam berbicara soal Tongkonan adalah bahwa tidak perlu membedakan agama. Hal ini juga yang sering menjadi alat peredam konflik diantara kelompok masyarakat karena adanya kaitan dalam hubungan darah-daging lewat silsilah Tongkonan.

Transformasi. Berbicara soal Tongkonan pihak lembaga umat Kristen di Toraja, sudah melaksanakan transformasi nilai-nilai dan fungsi sosial yang ada dalam Tongkonan itu. Sebagai contoh: Gereja Toraja menyebut kantor Sinodenya dengan nama Tongkonan Sangullele (artinya Tongkonan menyuluruh bagi mereka yang menjadi anggota Gereja Toraja). Juga dalam berbagai konteks lain, lembaga Gereja mencoba menggali dan mengakomodir nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran mereka. Hal ini untuk memberi ruang kepada orang Toraja untuk memahami dirinya dalam konteks Toraja walaupun mereka sudah tidak memeluk agama nenek moyang mereka yaitu Aluk Todolo (agama leluhur).

Aleksander Mangoting

Jl. A. Yani 45 Rantepao 91831 Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Telp. 081342493774

Email: aleksander_mangoting@yahoo.com

Senin, 18 Februari 2008

Tenaga Zending Nn. Jakoba Maria Eggink meninggal dunia

Ini adalah informasi yang dikirim oleh Pdt. Dr. Th. Van den End dari Belanda:

Saya harus memberitahukan kepada Saudara, dan lewat Saudara kepada Gereja Toraja, bahwa pada tanggal 3 Februari y.b.l. telah meninggal dunia Nn. Jacoba Maria Eggink, yang terakhir di antara tenaga Zending/GZB pra-PD II yang masih ada. Beliau lahir pada tanggal 16 Oktober 1912 di Leiden, negeri Belanda. Ayahnya seorang tukang kayu/pemborong kecil. Pada tahun 1921 keluarga Eggink berangkat ke Indonesia (yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda). Jacoba mendapat pendidikan di bidang kesejahteraan rumah tanga. Pada tahun 1938 sejumlah wanita di Tana Toraja, antara lain beberapa istri tenaga GZB, mendirikan Sekolah Kesejahteraan Rumah Tangga (menurut peristilahan zaman itu) di Rante Pao. Nn. Eggink menjadi kepala sekolah. Pada masa Jepang ia diinternir di Kampili, dekat Makassar; sesudahnya ia bekerja terus di SKRT Rantepao. Pada tahun 1950, ketika DI/TII mulai berkecamuk, sebagian besar tenaga GZB pulang ke tanah air. Eggink tetap tinggal di Rante Pao dan malah menjadi WNI. Setelah pensiun, ia masih bekerja di bagian rumah tangga Rumah Sakit "Elim". Sayang sekali, pada usia tua ia menjadi buta. Pada waktu itu, perawatan medis yang diperlukan tidak dapat diperoleh di Indonesia. Maka terpaksa ia berangkat ke negeri Belanda (1984). Di sana selama hampir seperempat abad ia hidup di kota Veenendaal, tempat asal Zendeling A.A. van de Loosdrecht. Umurnya semakin lanjut, tetapi kesehatannya tetap baik. Namun, ia terjatuh dan patah tulang. Tidak lama kemudian ia meninggal.
Kita kehilangan yang terakhir di antara tenaga Zending yang datang ke Toraja sebelum Perang Dunia II. Beliau rendah hati, tenang, saleh. Namun, beliau adalah salah satu dari mereka yang ikut membangun masyarakat Toraja agar siap memasuki era modern. Kita mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah diutus-Nya Nn. Eggink untuk hidup bekerja di tengah kita.

Salam hormat,Th. van den End

Kamis, 14 Februari 2008

Melangkah di Dalam Badai

Oleh: Pdt.J. R. Pasolon, M.Th

Orasi pada Wisuda STT Rantepao 2002

Suatu gambaran mengenai Gereja Toraja
dalam situasl sosial-politik di Luwu dan Tanatoraja 1947-1967
1. Sebagaimana lazim di perguruan tinggi bahwa pada setiap peringatan hari berdirinya ada orasi ilmiah, demikian juga di STT Rantepao hal tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini teJah diJakukan. Dalam rapat Senat Sekolah Tinggi Teologi Rantepao, tanggal 31 Agustus 2002 saya ditunjuk untuk menyampaikan orasi pada peringatan Dies Natalisnya yang XXXVIII ini.
Sesuai dengan bidang studi yang saya ampu selama ini, yaitu sejarah gereja, maka topik orasi saya tentu tidak jauh dari bidang tersebut. Saya hari ini hendak berbicara tentang Gereja Toraja, dalam suatu kurun waktu yang saya namakan waktu-waktu yang penuh badai, yaitu masa antara tahun 1947 sampai tahun 1967. Tahun 1947 saya jadikan sebagai titik tolak, mengingat bahwa pada tahun itulah, tepatnya tanggal 25 Maret 1947, Gereja Toraja resmi berdiri sebagai sebuah institusi gereja. Tahun 1967 dijadikan sebagai pembatas atas dasar pemikiran bahwa itulah tahun berakhirnya berbagai badai yang melanda Gereja Toraja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tahun-tahun selanjutnya adalah tahun-tahun yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai masa Orde Baru.
Mengapa justru masa lalu yang diorasikan? Mengapa bukan masa sekarang atau masa depan Gereja Toraja? Itulah uniknya sejarah. Sejarah selalu berbicara tentang masa lalu. Webster's Dictionary ( 1993:85) secara singkat menjelaskan bahwa sejarah adalah "past events, especially those involving human aftairs". Encyclopedia Americana ( 1984:226) menjelaskan sejarah sebagai "The past experience of mankind". Seorang sejarawan Amerika mengibaratkan seiarah sebagai seorang yang naik kereta menghadap ke belakang. Ia dapat melihat ke belakang, ke samping kanan dan kiri tetapi terkendala untuk melihat ke depan.
Betapapun (kenyataannya) demikian, tak jarang orang bijak berujar: "Jasmerah", "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah"(ucapan Soekamo, presiden pertama Republik Indonesia), atau "Belajarlah dari seiarah". Ucapan lainnya ialah: "Orang yang tidak menguasai sejarah adalah bagaikan orang yang lupa ingatan". Kita tidak usah tersinggung dengan ucapan yang terakhir ini sebab bukankah benar bahwa orang yang sudah dikategorikan sebagai lupa ingatan tidak menyadari lagi di mana ia sekarang berada, ia datang dari mana dan kemana hendak menujukan hidupnya. Orang yang lupa ingatan tidak berpikir tentang masa lalunya, masa sekarangnya, apalagi masa depannya. Ia pun tidak sadar untuk apa ia masih hidup sekarang. Lain halnya dengan kita yang berada dalam keadaan yang normal. Kita sadar bahwa kita sedang melangkah ke masa depan yang penuh dengan tantangan. Untuk itu kita tidak sekedar mau berjalan ke masa depan bersama dengan semua warga dunia lainnya melainkan diperlukan perhitungan- perhitungan dan pemikiran-pemikiran yang baik sehingga langkah kita mantap, terhindar dari sandungan-sandungan yang setiap waktu ada di jalan. Dengan menengok ke belakang,
2
entah ke masa yang jauh atau ke masa yang belum lama kita tinggalkan, kita belajar sesuatu dari masa-masa itu untuk melangkah dengan lebih baik lagi ke masa depan.
Dalam pemahaman seperti itulah saya mengajak kita semua untuk sejenak menaruh perhatian terhadap sejarah Gereja Toraja, kurun waktu dua puluh tahun yang pertama, 1947-1967. Semoga saja ada manfaatnya bagi kita semua.
Ini hanyalah salah satu "lukisan", salah satu upaya rekonstruksi. Diharapkan akan muncul "lukisan-lukisan" lainnya yang akan memperkaya khasanah sejarah gereja kita, Gereja Toraja khususnya, dan gereja-gereja lainnya.
Perlu diketahui bahwa apa yang saya sampaikan dalam bentuk orasi ini adalah isi utama tesis saya dalam mengakhiri studi saya pada STT INTIM Makassar, tahun 2000 yang lalu. Sebagai sebuah rangkuman sudah pasti bahwa orasi ini tidak akan mampu mengangkat ke permukaan semua hal yang tentu tidak kurang pentingnya. Keterbatasan waktu yang dialokasikan untuk ini sangat tidak memadai. Untuk itu, sekiranya ada yang berminat untuk lebih memuaskan rasa ingin tahunya, ke Perpustakaan STT Rantepao saya akan menyerahkan satu eksemplar dari tesis tersebut. DI Perpustakaan STT INTIM pun telah ada.

2. Tahun-Tahun yang Penuh Badai
Masa dua puluh tahun, sejak Gereja Toraja berdiri sendiri sebagai sebuah sinode (1947-1967), adalah masa yang penuh dengan gejolak sosial-politik. Berbagai gejolak itu adalah bagaikan badai yang sewaktu-waktu dapat menghentikan langkah Gereja Toraja menapak di jalan yang ditempuh. Badai yang dimaksudkan itu adalah sebagaimana yang terurai berikut ini.

2.1 Revolusi Fisik (sampai tahun 1949)
Dalam sejarah Indonesia, masa antara tahun 1945-1949 dikenal sebagai masa revolusi, yaitu masa dimana bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang berusaha untuk kembali berkuasa di Indonesia. Dengan membonceng di belakang tentara sekutu, Belanda berusaha merebut kembali semua wilayah yang telah dinyatakan sebagai wilayah kesatuan negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. NICA, demikianlah nama baru yang mereka gunakan untuk pemerintahannya. Bangsa Indonesia tidak rela menerima kembalinya pemerintah penjajah Belanda itu. Di semua wilayah republik terjadi perlawanan bersenjata, tidak terkecuali di daerah Sulawesi Selatan. Di daerah Swapraja Luwu, yang meliputi Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Tana Toraja yang sekarang serta Kolaka, terjadi pula pergolakan yang tidak kalah hebatnya dengan daerah-daerah lainnya. Seluruh warga masyarakat ikut berjuang. Baik di Luwu

3
maupun di Tana Toraja, daerah kelahiran Gereja Toraja, terbentuk kesatuan-kesatuan pemuda dan rakyat untuk mengadakan perlawanan. Sementara hal itu berlangsung, jemaat-jemaat, hasil penginjilan Gereformeerde Zendingsbond (GZB) mengadakan sinodenya yang pertama pada tahun 1947 dan menghasilkan keputusan bahwa jemaat- jemaat hasil zending itu mempersatukan diri dalam satu institusi gereja yang diberi nama Gereja Toraja. Gereja yang baru berdiri itu tentu saja segera diperhadapkan dengan masalah-masalah sosial-politik dari masa revolusi itu. Gereja Toraja diperhadapkan kepada pilihan politik yang cukup sulit. Gereja Toraja hendak bemaung dimana? Berada di bawah pemerintah Republik Indonesia atau di bawah NICA ? Bagaimanakah Gereja Toraja menghadapi badai revolusi itu?

2.2 Pasca Revolusi (1950-1967)
Pada tahun 1949 masa revolusi berakhir dengan ditandatanganinya penyerahan /pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda lewat Konferensi Meja Bundar. Peristiwa bersejarah tersebut tidakjuga segera mengakhiri gejolak sosial-politik yang terjadi sampai saat itu. Memasuki tahun 50-an sampai dengan berakhimya masa yang secara umum dikenal sebagai masa Orde Lama (ORLA), sebutan yang Orde Baru berikan terhadap masa sebelum ORBA, gejolak sosial-politik terus meningkat. Badai belum berlalu. Di berbagai daerah timbul pergolakan dan pemberontakan, baik sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat maupun yang sifatnya lokal. Pemberontakan DI/TII di daerah-daerah yang mayoritas Islam oleh pemimpin-pemimpin DI/TII, antara lain Kartosoewirjo di Jawa barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daud Beureue di Aceh, Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara, Pemberontakan PRRI di Sumatera, Pemberontakan RMS di Maluku.
Di Sulawesi Selatan, khususnya di bagian utara, Luwu dan Tana Toraja, selain pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, terjadi juga gejolak-gejolak sosial- politik lainnya. Selengkapnya, gejolak-gejolak yang dimaksudkan itu ialah sebagai
berikut.

2.2.1 Pemberontakan Kahar Muzakkar (1950-1965)
Pada tahun 1950 Kahar menyatakan pemberontakannya terhadap pemerintah pusat. Pemberontakan tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya terhadap cara pemerintah merasionalisasi para gerilyawan dari masa revolusi ke dalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia. Ia pun kecewa karena tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulwesi Selatan. Bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Selama lima belas tahun ia mengembara di hutan-hutan Sulawesi Selatan

4
danSulawesi Tenggara. Pemberontakan tersebut menimbulkan ketidakamanan dan kerusakan di berbagai bidang.
Ketika pada tahun 1953 perjuangan Kahar Muzakkar digandengkan dengan perjuangan DI/TII Kartosoewirjo yang berusaha mendinkan negara Islam di Indonesia, pendekatan kekerasan digunakannya untuk memaksakan rakyat berpihak kepadanya. Di berbagai tempat di Sulawesi Selatan, khususnya di bagian utara, di daerah Luwu dan Tana Toraja pemaksaan untuk berpindah ke Agama Islam terhadap penganut agama lainnya dilakukan. Penstiwa tersebut pada umumnya terjadi di daerah-daerah perbatasan yang jauh dari jangkauan Tentara Nasional Indonesia, seperti daerah-daerah Tana Toraja bagian selatan, barat, daerah Luwu seperti Ranteballa, Pantilang, Seko dan Rongkong. Rakyat yang tidak bersedia bergabung dengan Kahar Muzakkar banyak yang menjadi korban pembunuhan. Mereka yang sempat luput, melankan din ke daerah-daerah yang dianggap amman. Terjadilah pengungsian besar-besaran ke daerah-daerah yang dikuasai pemerintah pusat. Di Luwu, daerah-daerah pengungsian yang terkenal ialah Masamba, Sabbang, Palopo, Senti, Rantai Damai, Batusitanduk. Di Tana Toraja pada umumnya rakyat di daerah- daerah pinggiran mengungsi ke daerah di sekitar Makale dan Rantepao.
Rakyat dari daerah Seko tersebar ke berbagai daerah, ke Sulawesi Tengah, ke Kalumpang dan ke Tana Toraja.Sebagian dari pengungsi itu sudah ada yang sempat diislamkan, sebagian sudah Kristen dan sebagian lagi masih menganut agama lamanya, "Aluk Todolo". Badai yang mewujud lewat pemberontakan Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya baru berhenti ketika pada tanggal 3 Februari 1965 tentara Siliwangi berhasil menembak mati sang pemberontak, Kahar Muzakkar di tepi sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara.

2.2.2 Peristiwa 1953/1958
Khusus di Tana Toraja, pada tahun 1953 dan 1958 terjadi suatu peristiwa yang oleh masyarakat Toraja dikenal sebagai "Peristiwa Andi Sose". Disebut demikian karena yang dianggap sebagai penyebab penstiwa itu ialah Andi Sose (sekarang Pensiunan TNI dan pengusaha). Andi Sose adalah putra Puang Buntu Batu, saudara sepupu A. Y.K. Andilolo (mantan Bupati Daerah Tingkat II Kabupaten tana Toraja). Pada masa revolusi dia bersama tentara genlya pimpinannya, sebagian besar dari mereka adalah pemuda-pemuda Toraja, berjuang melawan pasukan Belanda yang kembali dengan pemerintah NICA-nya. Setelah revolusi fisik berakhir, gerilya pimpinannya diterima sebagai tentara nasional dan ditempatkan di Tana Toraja.
Tidak lama setelah ditempatkan di Tana Toraja terjadi keresahan di kalangan masyarakat. Banyak tindakannya yang dianggap tidak menyenangkan masyarakat, diantaranya karena ditengarai hendak membangun sebuah mesjid di tengah kolam
Makale, kolam kebanggaan masyarakat di ibu kota Kabupaten Tana Toraja itu. Tersebar

5
pula berita tentang perusakan sejumlah gadis Toraja oleh tentara-tentara mantan gerilyawan, pimpinan Andi Sose itu. Melihat gelagat yang tidak baik itu masyarakat Toraja bangkit melawan hendak mengusir Andi Sose dan pasukannya dari Tana Toraja. Usaha masyarakat Tana Toraja itu berhasil. Dalam waktu yang tidak lama Andi Sose dan pasukannya diusir dari Tana Toraja pada tahun 1953 itu juga.
Andi Sose masih sempat lagi kembali ke Tana Toraja dengan tujuan "membayar utang" kekalahannya pada tahun 1953. Dengan jumlah tentara yang lebih besar dan dengan persenjataan yang sudah lebih modern ia berharap dapat menguasai Tanatoraja. Ia muncul lagi di Tana Toraja pada tanggal 1O April 1958. Tetapi sekali lagi cita-citanya itu gagal karena masyarakat Toraja, yang menganalogkan situasi tersebut dengan peristiwa "Untulak Buntunna Bone", kisah perlawanan heroik masyarakat Toraja menghadapi tentara Bone di bawah pimpinan Aru Palaka yang hendak menaklukkan Tana Toraja ke bawah kekuasaan Bone menjelang akhir abad XVII, sekali lagi menang perang. Masyarakat Toraja merasa terbebas dari ancaman yang dirasakan sebagai suatu malapetaka. Pada waktu itu masyarakat Toraja, melalui PARKINDO dan Gereja Toraja, merasa telah terpandu melewati masa-masa yang penuh kegetiran itu. (Bnd. Bigalke, 1981:441). Bigalke menyebut PARKINDO sebagai pimpinan etnis Toraja dalam masa- masa menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah-masalah sosial-politik dan budaya.

2.2.3 Revolusi Tani, 1953
Pada tahun 1953 terjadi sejenis "revolusi" yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tani yang telah terprovokasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), terutama melalui organisasi massanya yang dikenal dengan nama Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat (PR). Menurut Bigalke (1981 :403) banyak anggota dari kedua organisasi massa tersebut yang cukup handal, terlatih, baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat dunia. Berkat dukungan moral dari tentara Batalyon 422 Diponegoro kedua organisasi massa PKI itu melakukan penyerobotan tanah yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah karena anggapan bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik mereka yang dahulu dirampas oleh para feodal yang berkuasa sebelum kedatangan pemerintah Belanda ke daerah Tana Toraja. Secara bergotong-royong dan berkelompok-kelompok mereka menanami sawah yang telah "dibebaskan"- Kelompok-kelompok tersebut kemudian menjadi sangat revolusioner-radikal sehingga melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap orang-orang yang dianggap perampas tanah milik nenek moyang mereka. dan sempat membantai beberapa orang dari bangsawan tuan tanah. Bungin, Kasimpo, Batupapan, Angin-Angin, Pangrante, Tikala, Pemanikan menjadi medan ravolusi tersebut. Hanya perlawanan spontan dari masyarakatlah yang kemudian menghentikan tindakan balas dendam massa BTI dan Pemuda Rakyat itu.

6
Bagaimanapun juga revolusi kaum tani itu adalah suatu badai yang terjadi di lingkungan pelayanan Gereja Toraja. Revolusi tersebut memang skalanya kecil saja tetapi itu jelas adalah masalah sosial-politik yang tak urung meninggalkan "luka" yang pedih dalam masyarakat yang mengalaminya.

2.2.4 Peristiwa G.30.S.PKI
Dalam sejarah Indonesia, peristiwa yang dikenal sebagai G.30.S / PKI adalah salah satu tragedi nasionaI yang memiliki dampak negatifyang sangat luas, khususnya bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Segera setelah peristiwa tersebut di seluruh Indonesia berlangsung pemburuan bagi mereka yang dianggap terlibat, baik secara langsung maupun tidak" Aksi-aksi dari berbagai pihak, organisasi politik, organisasi massa, golongan menuntut pembubaran partai yang dianggap sebagai dalang dan pelaku dari tragedi berdarah itu.
Luwu dan Tana Toraja, daerah paling utara Propinsi Sulawesi SeIatan pun tidak Iuput dari dampak peristiwa G.30./ PKI tersebut. Di daerah tersebut pengaruh PKI tidak kecil. Banyak anggota masyarakat, tidak terkecuali anggota Gereja Toraja menjadi anggotanya. Penyebabnya tidak lain adalah karena anggota masyarakat yang masih sederhana itu mudah tertarik kepada janji-janji dan iming-iming. Lagipula pengetahuan mereka tentang ideologi yang dianut PKI sangat minim. Mereka tidak tahu apa itu ateis. Barulah ketika peristiwa tragis itu terjadi mereka menjadi sadar. Bagi masyarakat Luwu dan Tana Toraja peristiwa G.30.S / PKI itu adalah juga badai, juga badai bagi Gereja Toraja.

2.2.5 Berdirinya GPIL
Pada tahun I966, tidak lama setelah peristiwa G.30.S/PKI, Gereja Toraja mengalami perpecahan. Sebagian besar anggotanya, khususnya mereka yang merasa orang Luwu, keluar dari Gereja Toraja dan mendirikan institusi gereja yang baru yang dinamakan Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL).
Berdirinya Gereja Protestan Indonesia Luwu bukanlah karena alasan teologis
melainkan karena alasan-alasan yang sifatnya non-teologis, menyangkut masalah-masalah sosial-politis dan budaya. Atas dasar pertimbangan bahwa mereka hidup dan tinggal di daerah Luwu dengan situasi sosial-budaya yang yang tak persis sama dengan yang dikenal secara umum sebagai kebudayaan Toraja dan bahwa mereka tak mau dianggap "orang asing di negeri sendiri" keinginan tersebut diwujudkan meskipun tidak melalui proses yang wajar.
Bagaimanapun kenyataan tersebut tidak dapat dihindari oleh Gereja Toraja. Peristiwa itu pun adalah suatu badai bagai Gereja Toraja. Ribuan anggotanya melepaskan diri dan membentuk institusi gereja yang mandiri

7
3. Melangkah di Dalam Badai
Bagaimanakah Gereja Toraja melangkah di dalam badai sebagaimana yang
dideskripsikan di atas? Tidak mudah baginya sebagai gereja muda untuk melangkah di dalam berbagai gejolak sosial-politik itu.
Gereja Toraja adalah hasil pekabaran Injil Gereformeerde Zendingsbond (GZB), lembaga pekabaran Injil dari negeri Belanda yang latar belakang teologinya bercorak Calvinis-Pietis dan Etis. Dari segi politis, Gereja Toraja bertumbuh dan berkembang ketika bangsa Indonesia masih dijajah oleh bangsa Belanda. Khusus Luwu dan Tana Toraja pemerintah Belanda mulai berkuasa di daerah tersebut sejak awal abad XX, tepatnya sejak tahun 1905. Dengan latar belakang tersebut orang Kristen, anggota Gereja, di Luwu dan Tana Toraja diidentifikasi sebagai kawannya Belanda. Identifikasi seperti itu menyulitkan posisinya.
Pada masa revolusi fisik (1945-1949) Gereja Toraja sebagai sebuah lembaga ditempatkan pada pilihan dilematis antara menyatakan keberpihakan secara jelas kepada pemerintah Republik Indonesia atau berpihak kepada pemerintah Belanda di bawah NICA.
Meskipun tidak terlihat dengan jelas pilihannya, tersirat juga sikapnya melalui kehadiran sejumlah anggota gereja dalam perjuangan melawan Belanda pada masa revolusi itu. Baik di Luwu maupun di Tana Toraja perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara yang sudah direbut itu dilakukan oleh anggota gereja secara pribadi. Banyak dari antara mereka yang gugur sebagai pejuang. Di samping kehadirannya di dalam perjuangan secara fisik sejumlah pemuda gereja yang menamakan diri "Republikein" turut berjuang di bidang politik untuk memperjuangkan terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia.
Suara-suara dari pihak zendeling tidak memperlihatkan dukungan yang pasti. Ada yang menyebut para pejuang sebagai orang-orang yang "kena pukau cita-cita kemerdekaan", atau menamakan cendekiawan Kristen yang terjun ke dunia politik sebagai orang yang "kacau pikirannya" .
Demikianlah Gereja Toraja melangkah di dalam masa revolusi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja waktu itu tidak terlalu tertarik kepada masalah politik Baginya, yang penting adalah bagaimana menjalankan pelayanan di dalam gereja. Hal itu nampak jelas pula di dalam notulen Sinode Amnya yang I dan II (dalam Himpunan Notulen Synode Pertama sampai dengan Synode Kelima Geredja Toradja). Masalah yang lebih menarik bagi gereja muda itu ialah mengenai perempuan yang tidak boleh memegang jabatan gerejawi, permandian (baptisan), perkawinan dan perceraian, lelang pada hari Minggu, mayat dan penguburannya, pekaamberan to sarani (orang-orang yang dihormati dalam jemaat ), buku leso" (daging tertentu yang diberikan kepada pemimpin tradisional). Gereja tidak mengeluarkan suatu fatwa tentang sikap politik menyangkut

8
situasi yang dihadapi.
Sesudah masa revolusi Gereja Toraja melangkah ke dalam masa-masa antara tahun 1950-1967), masa-masa yang juga penuh dengan badai. Buku "Benih Tumbuh VI" menamakan masa tersebut sebagai masa ujian n (Masa ujian I berlangsung pada masa Jepang, 1942-1945). Penamaan tersebut tentu dikaitkan dengan situasi sosial-politik yang terjadi zaman itu. Terjadi gejolak-gejolak sosial dan pemberontakan yang berlatar belakang ideologis-politis (lihat uraian di atas ).
Menghadapi situasi buruk yang ditimbulkan oleh pemberontakan Kahar Muzakkar dengan DI/TII-nya Gereja Toraja mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, bekerja sama dengan pemerintah menangani masalah-masalah pengungsi. Dalam urusan penanganan pengungsi P ARKINDO memegang peranan penting.
Kedua, Gereja Toraja meminta bantuan dari DGI untuk menangani kebutuhan sehari-hari para pengungsl.
Ketiga, Gereja Toraja melalui jemaat-jemaatnya menampung parapengungsi.
Selain bantuan berupa sandang, pangan dan papan, pimpinan gereja mengunjungi para pengungsi di tempat pengungsian dan memberikan bimbingan dan nasihat-nasihat serta penghiburan untuk menunjang semangat mereka.
Pada masa-masa sulit seperti itu beberapa tokoh gereja tampil dengan kharisma yang menonjol, antara lain pendeta J.Linting (almarhum), Pendeta Pattykaihatu (almarhum) yang menangani para pengungsi Seko di daerah pelayanannya di Kalumpang, Pendeta P.S.Palisungan sebagai gembalajemaat di resort Rongkong yang setia berada di tengah- tengahjemaatnya sampai gugurnya sebagai syahid pada tahun 1953 oleh gerombolan pemberontak DI/TII pimpinan Andi Masse', alias Mas Djaya. Almarhum Pendeta J . Linting, oleh Dr. Th. Kobong digelar sebagai "Londongna Toraya", sebab melalui peranannya pada masa-masa badai itu benar-benar telah memperlihatkan fungsinya sebagai "to urrengnge' aluk sia to urrengnge' tondok".
Menghadapi peristiwa 1953/1958, Peristiwa Andi Sose, Gereja Toraja bersama dengan PARKINDO telah berusaha melindungi atau mempertahankan Tana Toraja dan masyarakat Tanatoraja dari rongrongan orang-orang yang ambisinya pribadinya dianggap merugikan dan akan menenggelamkan Toraja. Gereja Toraja telah dianggap sebagai pandu masyarakat Toraja, begitupun halnya dengan PARKINDO yang waktu itu sulit membedakannya dari kekristenan. Menjadi anggota Gereja Toraja dianggap tidak cukup kalau tidak menjadi anggota PARKINDO, dan sebaliknya menjadi anggota PARKINDO haruslah berguna bagi Gereja Toraja. PARKINDO juga adalah pemimpin masyarakat Toraja.
Mengenai sikap Gereja Toraja dalam menghadapi "revolusi Tani" dan PKI, sampai dengan terjadinya peristiwa G.30.S/PKI Gereja Toraja tidak terlalujelas memperlihatkan sikap penentangannya. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa PKI dan organisasi massanya adalah partai dan organisasi resmi yang diakui oleh pemerintah. Di bawah

9
presiden Soekamo berlangsung Nasakomisasi (Nasionalisme, Agama dan Komunisme ). "Nasakom jiwaku", " Nasakom satu cita sosialisme", demikian didengungkan waktu itu. Gereja dan organisasi-organisasi Kristen baru memperlihatkan keberaniannya ketika PKI sudah dinyatakan sebagai otak dari Peristiwa G.30.S. Gereja Toraja juga mengeluarkan surat penggembalaan yang menyatakan penyesalannya, mengakui kelalaian dan dosanya. Dalam surat penggembalaan yang dikeluarkan usai Sinode Am Gereja Toraja di Sa'dan, tahun 1967 antara lain dikatakan:
"Menyebamya ideologi Komunis pada masa yang lampau yang memuncak dalam peristiwa G.30.S. yang mengakibatkan mala petaka yang sangat besar bagi kehidupan bangsa, Negara dan masyarakat adalah akibat kelalaian kita, juga dalam mewujudkan tugas kenabian kita. ...Marilah kita mengaku di hadapan Tuhan segala dosa dan kelalaian kita di dalam menyatakan kebenaran bahwa Tuhan yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus adalah sumber segala kebahagiaan, kesej ahteraan pengharapan manusia" .
Menghadapi masalah terlepasnya sebagian anggota Gereja Toraja yang mendirikan Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL) Gereja Toraja telah berusaha untuk dapat merekat kembali keretakan itu. Berbagai pertemuan dan percakapan dilakukan dengan parapemimpin dan tokoh-tokoh GPIL namun keretakan tidak lagi dapat diperbaiki. Nasi telah menjadi bubur. Gereja Toraja harus menerima realitas bahwa ia tidak dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan dirinya. Badai perpecahan meluluhlantakkan dirinya meskipun tak sampai hancur. Peristiwa tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga.

4. Masalah-Masalah Umum
Telah dikatakan di atas bahwa sebagai Gereja muda Gereja Toraja belum begitu tertarik terhadap masalah-masalah yang dianggap tidak langsung diperhadapkan kepada dirinya. Revolusi fisik pada tahun 1945-1949, DImI, Revolusi Tani 1953, Peristiwa 1953/1958 adalah kejadian-kejadian yang meskipun mengena dirinyajuga tidak atau belum terlalu dipikirkan secara mendalam, apalagi untuk dipersoalkan dari segi teologis. Hal-hal yang menjadi keprihatinan utamanya ialah urusan intern gereja, pelayanan ke dalam dirinya sendiri. Yang dipersoalkan adalah akibat-akibat yang timbul dari kejadian- kejadian di sekitamya, misalnya menangani masalah pengungsi sebagai akibat dari tekanan gerombolan DI/TII.
Penekanan terhadap pelayanan ke dalam memang telah menjadikan Gereja Toraja tumbuh menjadi sebuah gereja yang besar di Sulawesi Selatan yang peranannya pada masa kini tidak dapat dianggap kecil. Pengalamannya melangkah di dalam badai telah menjadikannya tumbuh dewasa dalam berbagai segi.
Sebagai akibat dari pengakuan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat

10
Konperensi Meja Bundar pada tahun 1949, bangsa Indonesia dengan demikian secara resmi terlepas dari belenggu penjajahan. Bangsa Indonesia mulai menata diri sendiri. Hal yang sama terjadi pula di dalam gereja. Gereja-gereja, termasuk Gereja Toraja mulai belajar mandiri, mandiri dalam daya, dana dan teologi.
Pertumbuhan kwantitas anggota Gereja Toraja, terutama sejak zaman Jepang dapat dikatakan cukup fantastik. Meskipun mungkin hanya sebagai pemyataan politis, Pendeta J. Linting mengatakan bahwa pada awal tahun 1950-an Gereja Toraja sudah memiliki anggota sejumlah 180.000jiwa. Bagaimanakah mengatasi ledakan pertambahan anggota tersebut? Gereja Toraja segera mengatasinya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Di bidang pendidikan teologi Gereja Toraja mendirikan Sekolah Alkitab Gereja Toraja, Pendidikan Guru Agama tingkat atas(PGAA) pada tahun 1962, STT Rantepao pada tahun 1964. Melalui sekolah-sekolah teologia tersebut Gereja Toraja mampu mengatasi kekurangan tenaga pelayan.
Untuk bidang pendidikan umum didirikan sekolah-sekolah Kristen di bawah payung Yayasan Perguruan Kristen Toraja (YPKT) yang didirikan pada tahun 1954. Alumnus dari sekolah-sekolah Kristen asuhan YPKT , diantaranya adalah SGA , kemudian berganti nama dengan SPG, telah berperan banyak di dalam membawa kemajuan bagi masyarakat Toraja, khususnya anggota Gereja Toraja.
Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, khususnya ekonomi jemaat, Gereja Toraja mengadakan tiga proyek utama: Percetakan dan Balai Buku yang bertujuan melayani kebutuhan gereja khususnya dan masyarakat pada umumnya, Proyek Buntu Marampa' yang merupakan perusahaan kooperatif yang bertujuan membiayai pensiun guru-guru dan YPKT, dan Proyek Rante- Tagari yang maksud dan tujuannya ialah untuk pendidikan teknologi bagi ST I, ST II dan STM.
Sebagai akibat dari pergolakan di dalam masyarakat pada tahun 1960-an Gereja Toraja menghadapi pergumulan yang sangat besar. Pergumulan yang berat itu temyata menghasilkan karya teologi yang cukup besar pula artinya bagi Gereja Toraja, yakni dihasilkannya satu pengakuan iman: Pengakuan Gereja Toraja (PGT) yang kemudian disahkan dalam Sidang Sinode Am XVI Gereja Toraja tahun 1981 di Makale.
Bidang-bidang pelayanan barupun di bentuk untuk lebih memahami pelayanan intern Gereja, seperti dibentuknya Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) pada tanggalll Desember 1962, Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT) pada tanggal5 Desember 1966.
Dalam hubungan dengan dunia politik terlihat bahwa ada ketidaksepahaman diantara pimpinan gereja. Mereka yang menentang keterlibatan di dalam dunia politik mengajukan alasan bahwa gereja dan dunia adalah dua hal yang berbeda sekali dan keduanya harus dipisahkan. Politik hanyalah upaya memperebutkan kekuasaan. Pada pihak lain, mereka yang menerjunkan diri ke dunia politik berpikir bahwa satu-satunya sarana untuk menghubungkan diri dengan dunia politik ialah PARKINDO, partai berlabel Kristen pada

11
waktu itu. Alasan teologis untuk keterlibatan di dalam dunia politik belum dipikirkan. Kambing hitam untuk masalah ini ialah teologi pietis yang memusuhi dunia. Barulah sesudah Sidang Sinode Am XI Gereja Toraja di Sa'dan pada tahun 1967 sebuah komisi dibentuk untuk urusan kemasyarakatan, yaitu Komisi Gereja dan Masyarakat.

5. Catatan-Catatan Teologis
Banyak hal yang perlu diberi catatan-catatan teologis dari masa yang disampaikan dalam orasi ini, tetapi karena keterbatasan waktu maka pilihan terbataspun dilakukan. Di sini saya memilih untuk memberi catatan terhadap peran sosial-politik Gereja Toraja selama waktu yang disebut sebagai masa badai (1947-1967). Gereja Toraja yang dimaksudkan di sini dapat berarti institusinya ataupun anggotanya.
Secara institusi, peran sosial-politik Gereja Toraja dalam kurun waktu 20 tahun (1947-1967) belum memadai. Gereja Toraja baru belajar menghadapi situasi yang untuknya sebagai gereja muda masih baru dan cukup sulit. Tambahan pula gereja muda ini meskipun sudah dinyatakan berdiri sendiri masih tetap berada di bawah bayang-bayang Zending yang menghasilkannya, khususnya di bidang teologi. Untuk itu Gereja Toraja baru mengarahkan perhatiannya ke dalam dirinya, mengurus diri supaya mampu bertahan di dalam "gelombang dunia", atau "badai" yang menimpanya. Gereja Toraja kala itu belum tertarik kepada masalah-masalah yang terkait langsung dengan urusan dunia seperti politik. Maka ketika partai-partai politik terbentuk di Toraja, termasuk PARKINDO, Gereja Toraja tetap menjaga jarak. Sebagai akibatnya, ketika gejolak-gejolak sosial- politik merambah wilayah pelayanannya Gereja Toraja sulit juga menentukan sikap. Maka Gereja Torajajuga hanya menangani akibat-akibat yang secara langsung dialami oleh masyarakat, khususnya pengungsi yang disebabkan oleh tekanan dari DI/Tll Kahar Muzakkar .
Bertentangan dengan sikap institusinya, banyak anggota Gereja Toraja secara individu mengambil jalannya sendiri, misalnya terjun ke medan perjuangan bersenjata melawan NICA, menghadapi gerombolan DI/TII Kahar Muzakkar, melawan Andi Sose, menghadapi revolusi tani dan PKI. Keterlibatan anggota Gereja dalam menghadapi berbagai badai yang menimpa masyarakat bukanlah atas fatwa langsung dari Gereja sebagai institusi melainkan keputusan pribadi setiap anggota yang merasakan perlunya melibatkan diri dalam memperjuangkan kemerdekaan, keamanan, kedamaian dan ketenteraman.
Dari catatan di atas jelas bahwa Gereja Toraja sebagai sebuah institusi belum secara teologis memikirkan perannya di dalam dunia, khususnya di bidang sosial-politik. Keikutsertaan anggota jemaat secara pribadi di dalam berbagai peristiwa yang mereka hadapi bukanlah karena mempunyai pijakan yang kokoh dalam hal penghayatan iman Kristianinya melainkan karena terpaksa bertindak dan karena dianggap sebagai tuntutan

12
zaman; Jadi lebih banyak pertimbangan yang non-teologis. Memang ada juga yang telah mencoba mendekatkannya atau menggandengkannya namun kemudian menjadi salah kaprah, sebagaimana yang terjadi dengan PARKINDO, yaitu menyamakan demikian saja partai yang berlabel Kristen itu dengan kekristenan itu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa kalau tidak masuk PARKINDO mereka sebenarnya bukan orang Kristen. Mereka ingin bahwa sebanyak anggota Gereja Toraja sebanyak itulah pula anggota PARKINDO. Pemikiran seperti itu dipermudah oleh kenyataan bahwa sebagian besar tokoh Gereja Toraja adalahjuga pengurus PARKINDO. Dengan demikian pula dapat dikatakan bahwa Gereja Toraja dan PARKINDO saat itu saling memperalat, simbiosis-mutualistis. Seandainya sudah ada landasan teologis yang kokoh dari Gereja Toraja mengenai hubungan gereja dengan konteksnya, khususnya dengan dunia politik, misalnya mengenai hubungan gereja dengan negara, maka masalah pelik seperti di atas akan dapat diatasi.
Berbicara mengenai hubungan gereja dan politik sangat jelas terlihat dari sejarah gereja sendiri. Sudah dari awal sejarahnya gereja berkutat dengan masalah-masalah politik, dan sampai sekarang pun gereja tidak mungkin menjauhkan diri dari padanya. Memang benar bahwa sepanjang sejarahnya gereja diperhadapkan kepada dua pilihan, yaitu keterlibatan langsung ke dalam dunia politik, atau mencoba menjauhkan diri dari dunia politik itu. Menurut Soegeng Hardiyanto kedua pilihan tersebut merupakan pilihan berbahaya. Pada satu pihak gereja harus berpolitik dan harus mempunyai sikap politik yang jelas dan tegas, namun juga rela menolak dengan sungguh-sungguh kekuasaan politis. Politik tidak boleh diharamkan dan dikutuk meskipun setiap kehidupan politik selalu menyangkut soal kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Bahkan dengan kehidupan politik yang menyangkut kekuasaan itulah gereja harus semakin terpanggil untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan setia sehingga tidak akan mudah dijinakkan oleh penguasa politik yang tidak demokratis dan tidak emansipatoris.
Sebenamya, jauh sebelumnya, di masa ORLA, keterlibatan orang Kristen atau gereja dalam dunia politik sudah diuraikan dengan jelas oleh Notohamidjojo dalam bukunya "Tanggungdjawab Geredja dan orang Kristen dibidang politik". Berdasarkan
pertimbangan yang asasi, Notohamidjojo memperingatkan gereja tentang panggilannya di bidang politik, yaitu rasa tanggung jawab dalam turut membangun Kerajaan Allah di dunia. Rasa tanggung jawab adalah pengakuan bahwa seseorang atau sekelompok orang tidak hidup sendirian melainkan keberadaannya ditentukan pula oleh pihak lain, entah itu dengan sesama manusia, tetapi terutama dalam pertanggungjawaban terhadap Allah yang oleh-Nya manusia disebut gambar Allah. Martin Buber, yang menekankan hubungan tanggung jawab di antara manusia mengatakan: "Aku ini baru aku karena kamu". Jadi keberadaan manusia adalah keberadaan yang menjawab, khususnya keberadaan yang menjawab kepada Tuhan Yesus, Kepala Gereja.
Tanggung jawab gereja di bidang politik berarti bahwa gereja harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yesus, RajaKerajaan Allah. Gereja harus bertanggung jawab terhadap

13
semua bidang kehidupan, termasuk tanggung jawabnya di bidang politik. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat hakiki. Menurut Notohamidjojo gereja yang tidak memperhatikan politik berada "di luar kegiatan pembangunan Kerajaan surga".
Dapat dipastikan bahwa dalam rangka pemahaman inilah dan karena tuntutan yang mendesak dari konteks gereia-gereja di Indonesia sekarang, Gereia Toraja juga telah turut berbenah diri dan menentukan sikap. Dalam rasa tanggung jawab itulah Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja telah memprakarsai suatu "Pertemuan Khusus Pimpinan Gereja Toraja" pada tanggal 19-22 Agustus 1998 untuk mendiskusikan dan merumuskan pemahaman Gereja Toraja mengenai ‘GEREJA DAN POLITIK’ yang hasilnya akan menjadi "pedoman Gereja Toraja sebagai sebuah institusi pada seluruh aras dan dalam semua unit pelayanannya, dan oleh segenap warga Gereia Toraja sesuai bidang tugas masing-masing khususnya di bidang politik, dan menjalankan tugas-tugas kesaksiannya sebagai umat Allah di tengah-tengah dan untuk masyarakat dan bangsa Indonesia". Ada pengakuan yang tulus dari Gereja Toraja bahwa selama ini Gereja Toraja belum melaksanakan fungsi-fungsinya khususnya di bidang politik. Kendalanya antara lain disebutkan tentang "Adanya pengaruh tradisi teologi pietistis yang cenderung menjauhkan gereia dari bidang politik", atau "terutama karena penyelenggaraan kekuasaan di dalam bangsa dan negara ini amat terpusat di dalam satu tangan, dan rakyat serta hampir semua orang terbius dan terbelenggu di dalamnya". Dengan telah adanya pedoman hasil rumusan sebuah tim yang dibentuk untuk itu maka Gereja Toraja sebagai institusi dan orang Kristen secara pribadi tidak akan ragu-ragu lagi "makan" makanan yang sebelumnya dicurigai sebagai yang "haram dan najis", yaitu memikirkan dan berbuat sesuatu untuk negara lewat jalur politik dan bidang-bidang lainnya.
Masalahnya sekarang adalah: Apakah dengan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas gereja-gereja atau orang Kristen telah sedemikian rupa "berpolitik" sehingga telah mampu memberikan sumbangan yang berharga bagi bangsa, negara dan masyarakat Indonesia?
Menyadari hal itu Th. Sumartana berbicara tentang perlunya dilakukan langkah repositioning yang mendasar supaya gereia mampu menyumbang pemikiran yang segar kepada umatnya, termasuk kepada masyarakat. Ia menunjuk dua hal yang menurut dia perlu pembaharuan, yaitu pembaharuan politik ke arah emansipasi dan pengembangan kesadaran pluralisme masyarakat. Mengenai pembaharuan politik ke arah emansipasi dijelaskan bahwa emansipasi politik perlu kembali disadari se]aku esensi keterlibatan gereja dalam reformasi politik. Bagi Sumartana, prinsip emansipasi berarti memberi peluang dan kesediaan berbagi kesempatan bagi kelompok lain untuk melakukan peran bagi kehidupan bersama di tengah masyarakat majemuk. Ditengarai olehnya bahwa selama ini politik sering dimengerti sebagai soal merebut dan mempertahankan kekuasaan semata, menggelembungkan peran kelompok sendiri sambil mengeliminasi dan merendahkan kelompok lain. Politik semacam ini mengingkari kenyataan masyarakat yang majemuk, dan merupakan sebuah "politik bunuh diri massal", benih instabilitas permanen. Terhadap hal yang demikian Sumartana mendorong adanya suatu pembaharuan politik, dari politik konfrontasi ke politik emansipasi. Gereja dalam hal ini perlu menyediakan sebuah landasan etika politik.

6. Akhirul kalam saya menyampaikan terima kasih atas perhatian kita semua di dalam mendengarkan orasi ini. Barangkali ada yang tidak sepaham dengan apa yang
disampaikan dalam orasi ini. Saya berharap akan ada tulisan yang menyusul untuk memberikan lagi suatu "lukisan" lainnya, suatu rekonstruksi sejarah yang akan lebih lengkap sehingga sebuah sejarah Gereja Toraja yang utuh kelak dihasilkan. Apa yang saya sampaikan ini bukanlah berita yang setara "Surat Wahyu" yang tidak boleh ditambah atau dikurangi. Demi kemajuan Injil Kerajaan Allah berbuatlah sesuatu walau hanya sebesar biji sesawi. Kalau Allah memberkatinya itu akan membawa banyak berkat. Sekian

Rabu, 13 Februari 2008

Alumni PSKD Memberi Bantuan Buku ke Gereja Toraja

Salah sat bentuk pertasipasi Alumni Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) dalam turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan secara khusus dalam pelayanan kepada generasi muda gereja adalah bantuan buku. Bantuan buku dari Alumni PSKD bekerjasama dengan PT Sulo adalah bantuan buku Ceirtera Alkitab Perjanjian Lama dan Ceritera Alkitab Perjanjian Baru masing-masing 500 eksampelar dan diserahkan langung oleh Direktur PT Sulo Markus Rani kepada Ketua Umum Badan Pekerja Majelis Sionde Gereja Toraja Pdt. Soleman Batti, M.Th di ruang arsip pada tanggal 13 Pebruari 2008 dihadiri sejumlah staff dan pegawai Gereja Toraja.
Markus Rani mengungkapkan bahwa penyerahan ini sebagai bentuk partisipasi Alumni PSKD dan PT Sulo kepada pengembangan pelayanan generasi muda gereja.
Buku-buku ini akan disalurkan ke jemaat-jemaat yang ada di pelosok dalam lingkup pelayanan Gereja Toraja untuk dijadikan pedoman dalam rangka pembinaan generasi muda secara khusus kepada anak Sekolah Minggu.

(Aleksander Mangoting)

Senin, 11 Februari 2008

Siapa Mau Peduli Pembangunan Pedesaan?

Oleh: Aleksander Mangoting

Pembangunan yang dilaksanakan selama ini di Indonesia, tidak merata secara khusus daerah yang cukup jauh dari kota. Hal ini disebabkan karena masalah transportasi yang amat sulit. Ada lokasi (daerah) yang hingga awal abad XXI ini belum dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Bahkan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki hingga berhari-hari. Hal ini juga menyebabkan ekonomi warga masyarakat juga tidak memadai. Bahkan dapat dikatakan terkebelakang.
Persoalan yang dihadapi di desa-desa terpencil adalah soal pembangunan dan usaha-usaha untuk mendorong mereka mengubah pola pikir dan pola usaha dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu diperlukan sebuah gerakan untuk menolong diri mereka agar mampu memenuhi (atau paling tidak meningkatkan ekonomi mereka). Hal yang perlu adalah sebuah alat peraga dan tenaga yang akan memotivasi mereka, atau dengan kata lain seorang yang memotivasi mereka dengan meyiapkan alat peraga.
Selain itu, pendekatan yang dilakukan selama ini adalah pendekatan dari atas ke bawah. Lewat survey ini diharapkan pembangunan ke depan diarahkan kepada bentuk pendekatan pada kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang beranggotakan 20-30 orang. Pola pendekatan ini disebut mendekatan model organisasi masyarakat (Community Organization – COr).

Berawal dari pertemuan
Dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah aktifis pemuda gereja, masalah yang sangat gencar dibicarakan adalah soal begitu banyaknya pemuda yang menganggur dan juga soal pembangunan yang tidak merata secara khusus di pedesaan kita. Percakapan ini berlangsung terus dari waktu ke waktu, seakan tak pernah putus. Sesudah itu, juga dalam pertemuan dengan sejumlah fungsionaris gereja, percakapan mengenai ketertinggalan sejumlah daerah pedesaan juga menjadi hangat. Dan pertemuan ketiga yang pokok percakapan mengenai ketertinggalan pedesaan mencuat kembali dalam pertemuan dengan sejumlah kalangan LSM dimana penulis hadir sebagai peserta yang berasal dari Tana Toraja.
Dalam tiga kali pertemuan yang penulis hadiri, memang percakapan antara pemuda, pengangguran dan pembangunan pedesaan yang tertinggal sangat mewarnai percakapan. Hanya saja, sering, langkah strategis, efektif dan juga langkah konkrit di lapangan sering dirasakan kurang.
Dalam kerangka demikian, diperlukan peranana kepeloporan dalam berperan aktif membangun pedesaan berdasarkan potensi yang ada. Jangan seseorang mau datang membangun sebuah desa atau daerah menurut pola pikir dan kemauannya, tetapi pedesaan itu dibangun sesuai dengan potensi dan keinginan masyarakatnya. Kalau tidak, maka rencana dan program pembangunan pedesaan akan terpisah dari masyarakatnya. Artinya, masyarakat merasakan bahwa pembangunan itu sebagai sebuah yang “asing” dan itu bukan milik mereka, sehingga itu merupakan barang asing.
Dalam perencanaan pembangunan, jangan membangun ketergantungan, tetapi berdayakanlah masyarakatnya. Artinya, hendaknya pembangunan itu dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.

Butuh alat peraga
Salah satu persoalan dalam pembangunan masyarakat pedesaan adalah mereka butuh contoh konkrit, sehingga dalam pembangunan mereka mau melihat bukti dahulu, baru mau melakukan. Untuk itu, dalam pembangunan diperlukan contoh (alat peraga). Jadi pembangunan hendaknya dilakukan dengan bentuk sentra-sentra dan setiap sentra dibuat demplot (percontohan) selain memberikan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Program pengembangan pedesaan hendaknya itu dari, oleh dan untuk masyarakat di desa (daerah tersebut) tersebut. Untuk itu, pihak luar hanyalah sebagai “pembuka kaca mata” agar masyarakat dapat melihat keluar. Jadi yang hendak mengambil peran secara aktif adalah masyarakatg itu sendiri.Jadi orang luar hanya membuka jalan, memotivasi masyarakat untuk dapat melihat persoalan yang mereka hadapi dan juga untuk keluar dari persoalan tersebut.
Dalam rangka membangun pedesaan maka diperlukan untuk mengadakan survei ke lokasi-lokasi yang akan dijadikan lokasi pengembangan. Lokasi yang akan dijadikan semacam sentra pengembangan (demplot = percontohan) akan disepakati dengan masyarakat setempat berdasarkan kondisi masyarakat setempat.
Demplot atauj percontohan ini diharapkan akan menjadi “alat peraga” dalam pembangunan di sekitar lokasi tersebut.

LOKASI YANG AKAN DISURVEI
Tahun 2006 (Agustus - Desember 2006) berencana akan mengadakan survei lapangan untuk empat daerah terpencil yaitu: Seko

Seko
Survei ke Seko dirangkaian dengan pembinaan untuk beberapa kelompok masyarakat (Kelompok tani dan warga jemaat). Seko merupakan salah satu daerah (Kecamatan) dari Kabupaten Luwu Utara yang dapat ditempuh dengan dua cara yaitu: jalan kaki dari Sabbang selama 2-3 hari, naik ojek dari Sabbang dengan biaya Rp. 350.000,- dan naik pesawat dari Masamba dengan biaya Rp. 150.000,- (tetapi harus dipesan sebulan sebelumnya) kemudian naik ojek ke lokasi yang akan dituju.
Seko terletak di bagian barat Sabbang dengan melewati hutan dengan jarak sekitar 70 km. dan terletak di atas gunung.

Simbuang
Simbuang merupakan salah satu daerah terpencil yang letaknya dibagian barat dari Tana Toraja. Dapat dijangkau dengan naik motor melewati Polewali – Simbuang atau lewat dari arah Timur Simbuang.

Kalumpang
Kalumpang merupakan salah satu daerah terpencil yang letaknya dibagian barat daya dari Tana Toraja, yang dahulu masuk Sulawesi Selatan tetapi sekarang masuk dalam wilayah Sulawesi Barat. Daerah ini dapat ditempuh selama 6 jam naik motor dari Mamuju ke arah Timur naik ke gunung. Daerah ini merupakan pusat kekristenan di Sulawesi Barat tetapi sangat tertinggal dan juga terpencil. Di Kalumpang inilah berdiri kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Barat.

Rongkong
sekitar 60 km dari Sabbang arah Barat. Dapat ditempuh dengan naik motor atau naik ojek/motor dari Sabbang selama 5-6 jam dengan jalan seadanya pada musim kemarau dan pada musim hujan sering tidak dapat dilalui motor, terutama pada 20 km sebelum tiba di lokasi. Selain itu dapat juga dicapakai dengan naik truk dari Sabbang.
Selain itu, tahun depan (2007) akan disurvei lagi daerah seperti: Bittuang, Masanda, dan sejumlah daerah lainnya. Ini semua tentu memerlukan komitmen dalam turut membantu saudara-saudara kita yang berada jauh di pedalaman. Siapakah yang akan peduli?.

Menyiapkan tenaga
Dalam rangka mewujdukan harapan di atas, maka perlu tenaga secara khusus tenaga motivator di setiap daerah (desa/pedalaman) yang dimaksud. Tenaga disiapkan dalam bentuk pelatihan, magang dan D3 untuk skill yang dibutuhkan di sebuah desa/kampung/pedalaman. Tenaga sudah ada sebagian seperti di Seko, Toraja, sedangkan untuk Rongkong, Kalumpang, sebagian Toraja akan menyelesaikan pendidikannya satu dua tahun ke depan (2007-2008) dan juga masih sedang dipersiapakan beberapa orang untuk magang, pelatihan tahun depan serta untuk D3.

Butuh dukungan
Dalam rangka melaksanakan usaha percontohan dan pembinaan di lapangan, maka dibutukan kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, perseorangan, lembaga dan mitra lainnya yang berminat untuk pelayanan seperti dimasudkan di atas. Tanpa dukungan, maka ide ini tidak akan mungkin terlaksana.

Rencana Pengembangan:
Rencana yang akan dikembangkan di daerah tersebut diatas adalah Pembinaan pola pikir (pembinaan masyarakat/warga jemaat) tentang ekonomi pedesaan, masalah pembangunan secara khusus desa, pengembangan kebun coklat, perpustakaan desa, tanaman sayur-mayur, ternak babi (percontohan) dan tanaman keras lainnya sesuai hasil survey di lapangan. Untuk itu dibutuhkan survei lapangan untuk mendapatkan gambaran umum dan juga program apa yang hendaknya kita lakukan di sebuah daerah (desa).

Bagi pembaca sekalian yang ingin memberikan tanggapan, pendapat, masukan, saran, kritikan, dapat menghubungi penulis: aleksander_mangoting@yahoo.com, hp. 081342493774 atau melalui surat ditujukan kepada Aleksander Mangoting, Kantor BPS Gereja Toraja Jl. A. Yani 45 Rantepao 91831 Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

“Tuhan akan senantiasa memberkati setiap orang yang senantiasa berserah kepada-Nya”

Meko Blessing !!!

Pengantar penulis:
Sesudah mendengarkan mengenai peristiwa Meko, maka bahana mengadakan berbagai diskusi dengan beberapa tokoh Gereja mengenai fenomena ini. Awalnya memang ragu, tapi akhirnya mengambil kesimpulan untuk melihat dan mengalami langsung peristiwa tersebut. Akhrinya pada tanggal 15 Mei berangkat ke Meko, bersama keluarga (Lenny Bipa Mandaso’ - istri dan kedua anak yaitu: Allen Mangoting tiga tahun lebih dan Charisma Mangoting umur emp[at bulan), dan 20 orang lainnya memakai mobil truk.
Bahana memilih naik truk untuk memberikan kesempatan kepada istri dan kedua anak tercinta mengalami peristiwa tersebut, karena kalau naik mobil strandar maka hanya penulis yang dapat berangkat.

Catatan:
1. Dilarang mengambil foto di lokasi dan siapapun yang melihat pasti akan menegur kita.
2. Diminta untuk tidak memplublikasikan gambar-gambar kejadian di lokasi, seperti yang mengalami kesembuhan.

Poso butuh rekonsiliasi
Masyarakat Poso dan sekitarnya, Sulawesi Tengah, dalam kondisi sekarang ini sangat membutuhkan rekonsiliasi untuk mengakhiri kekerasan yang berlangsung sejak 1998. Walaupun kondisinya sudah mulai membaik, tetapi sampai sekarang masih ada dendam, trauma dan pengajaran agama yang diduga salah.
Direktur Internasional Cricis Group Indonesia Sydney Jones dalam sebuah diskusi Radio di Jakarta Jumat (13/4) mengakui, sebaiknya keadaan Poso terutama setelah bentrokan pada 22 Januari 2007. Menurut Jones yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana membangun kepercayaan masyarakat akan pihak keamanan karena hingga kini masih cukup banyak masyarakat yang tidak mau melaporkan ke pihak kepolisian. Demikian terungkap dalam Kompas 14 April 2007 hal 4.
Jadi Poso sangat membutuhkan rekonsiliasi masyarakat agar dapat memulai hidup baru untuk merajut lagi kehidupan yang lebih baik, lebih toleran tanpa kecurigaan karena perbedaan Suku Agama Ras, budaya dan berbagai perbedaan yang ada, tetapi menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan yang harus dipelihara.

Awal mula mujizat
Hingga kini mungkin sudah ratusan ribu orang yang sudah berduyun-duyun mengunjungi Desa Meko untuk mendapatkan kesembuhan secara jasmani dan rohani. Tetapi kabar ialah kehebatan seorang anak kecil menyembuhkan berbagai penyakit. Hebatnya, Selvin Bungge yang kini dijuluki “dokter kecil” menyembuhkan lewat Doa Bapa Kami diiringi lagu: “Allah kuasa melakukan segala perkara”. Orang menyakini bahwa penyembuhan yang dilakukan “dokter kecil” karena diakuinya sebagai kekuatan dari Tuhan Yesus.
Peristiwa mujizat di Meko ini mulai terjadi sejak tanggal 6 Januari 2007 lalu, demikian pernyataan Pdt. Rinaldi Damanik, S.Th dalam berbagai kesempatan. Saat itu pada malam hari sekitar jam 22.30 wita, di rumah mereka yang sangat sederhana di belakang kantor camat Pamona Barat, Selvin sedang memijat kaki ibunya yang menderita penyakit rematik akut. Tiba-tiba keesokan harinya, ibunya merasakan kakinya tidak sakit lagi. Ibu Selvin merasa sangat sehat. Hal ini kemudian ditanyakan ibunya kepada Selvin.
Selvin kemudian menceriterakan kepada ibunya tentang pengalamannya mengalami sebuah peristiwa ajaib. Menurut Selvin, pada malam hari melihat cahaya terang di kamarnya. Dalam cahaya itu ada gambar wujud Tuhan Yesus dan seorang malaikat. Tiba-tiba Selvin mendengar sebuah suara yang mengatakan: “Saya akan memberikanmu banyak . .. Selvin yang tidak mengerti suara itu lantas menjawab: berapa? 5000?. Suara itu kembali terdengar. Tidak, justru lebih banyak lagi. Tapi harus kau bagikan kepada semua orang. Namun keluargamu harus benar-benar patuh kepada perintah Tuhan. Seketika itu wujud tersebut hilang dari pandangan Selvin.

Dokter kecil dan bidan
Selvin yang adalah anak sekolah minggu Gereja Kristen Sulawesi Tengah kelompok kebaktian El Shaday Meko, dalam kesehariannya rajin membaca Alktiab dan berdoa. Ibunya adalah seorang guru SD dan ayahnya penilik Sekolah. Kelompok Kebaktian El Shaday hanya mempunyai 8 kk anggota yang berada di dipinggiran Danau Poso dan gedung gerejanya masih sangat sederhana.
Istilah yang dipakai untuk menyebut Selvin adalah “dokter kecil” dan ibunya disebut “ibu bidan”. Dan istilah inilah yang dipakai untuk menyebut Selvin sebagai “dokter kecil” dan ibunya sebagai “bidan”. Hal ini disebabkan karena Selvin lah yang mendapat Anugerah dari Tuhan untuk “menyembuhkan” (jasmani dan rohani). Ibunya dikatakan bidan karena dia dapat bekerja kalau mendapat petunjuk dari sang “dokter kecil”.

Awan kemuliaan Allah di atas Meko
Selvin Bungge, anak perempuan 8 tahun di Meko, Pamona Selatan di tepi Danau Poso dipakai (alat) Tuhan luar biasa. Sejak 6 Januari 2007 sampai Bahana mengunjungi Meko sudah puluhan ribu (dan mungkin ratusan ribu, karena pada hari kenaikan (17 Mei 2007) saja diperkirakan mendekati seratus ribu pengunjung. Jadi sejak Maret setiap minggu ribuan bahkan mulai April 2007 setiap minggu puluhan ribu orang yang datang memenuhi lapangan di Meko (depan kantor camat Pamona Barat), halaman rumah dan rumah-rumah penduduk sekitar lapangan di Meko. Orang yang datang disebuhkan dalam doa dalam nama Yesus. Berbagai pejabat datang ke sana, itu terlihat dari mobil yang diparkir setiap minggu. Dan khusus pada tanggal 17 Mei 2007 terlihat banyak mobil plat merah baik asal Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan ditambah lagi mobil mewah yang tidak mungkin dapat dihitung.
Didepan tempat ibadah (halaman rumah Selvin) terlihat kacamata, tongkat, kursi roda dan lain-lain kini menumpuk ditinggalkan pemiliknya karena sudah disembuhkan. Kepada setiap orang yang datang, Selvin dan mamanya menekankan tentang pertobatan dan untuk kesembuhan perlu yakin/percaya kepada Tuhan Yesus dan dialah yang menyembuhkan baik jasmani maupun luka-luka rohani (kepahitan-kepahitan).

Jangan kultuskan
Fenomena Meko yang mulai pada tanggal 6 Januri 2007 oleh seorang anak yang bernama Selvin anak berusia 8 tahun yang duduk di kelas 2 SD. Informasi ini dari mulut ke mulut. Banyak saudara-saudara Muslim yang datang untuk mendapatkan anugerah kesembuhan. Tidak ada proses medis. Ibadah dan doa. Intinya: “Pembaruan Budi/pertobatan“
Peristiwa ini luar biasa - intra rasional. Soal pro kotra itu wajar, hanya saja perlu diskusi terbuka soal Alkitab mengenai kejadian ini.
Kenapa harus Meko?. Atau kampung lain?. Ini sebuah pertanyaan yang sering orang lain tanyakan, tapi kami selalu menjawabnya: Itu adalah kedaulatan Tuhan. Demikian diungkapkan Pdt. Ishak Pole, M.Si Ketua I Badan Pekerja Sinode GKST di depan ibadah syukur kaum Bapak dan Persekutuan Wanita Gereja Toraja jemaat Elim Rantepao pada tanggal 10 Mei 2007 di selah-selah urusan pendidikan anaknya di Toraja.
Lebih jauh diungkapkan oleh Pdt. Ishak, Selvin, kalau sementara belajar dan ada panggilan untuk menyembuhkan maka dia akan minta izin untuk menyembuhkan. Selvin adalah seperti anak biasa tetapi menjadi alat ditangan Tuhan. Jadi jangan mengkultuskannya.

Kesaksian mengalir terus
Soal kesembuhan dan mujizat yang terjadi di Meko mengalir dari mulut ke mulut terutama mereka yang sudah menyaksikan dan merasakan jamahan di Meko. Mereka yang sudah ke Meko dari berbagai agama, pejabat, profesi, hingga anak-anak. Mereka kembali menjadi saksi-saksi mujizat yang terjadi di Meko. Ada sejumlah orang buta yang sembuh, ada yang yang tuli mendengar, lumpuh dapat bejalan, dan yang lain adalah yang mengalami sakit stroke, ada yang datang dengan infus kemudian infusnya di lepas, dan berbagai penyakit kronis lainnya.
Ada seorang yang sembuh dari penyakitnya dan memberikan uang sebanyak Rp. 5 juta kepada Selvin tetapi Selvin hanya mengambil Rp. 1.000,- untuk persembahan pada hari minggu. Memang, dalam melaksanakan missi sucinya, dua hal yang tidak diterimanya yaitu pemberian uang dan juga tidak mau di foto. Bahkan diumumkan bahwa tidak boleh memotret di lokasi, kalau memotrot tahu sendiri resikonya. Untung kalau masih dapat digunakan. Dan memang ada seorang ibu yang mencoba memotret tapi kameranya langsung rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Jadi kalau anda dilihat orang mau mengambil gambar pasti orang yang melihat akan marah.

Pelayanan oleh GKST
Sejak mulai hingga kini, lapangan yang merupakan tempat memasang tenda dan didepan rumah Selvin mengadakan ibadah dikerjakan dan dikelola oleh warga jemaat GKST yang ada di Meko. Untuk mengatur dan menata pelayanan dilaksanakan oleh Pendeta GKST yang ada di Meko yaitu Pdt. James Salarupa, S.Th. Demikian diungkapkan oleh Albert Tandipayuk salah satu Pemuda GKST yang banyak membantu pelayanan di lokasi ini.
Seandainya kita mau bisnis maka tentu akan dapat banyak uang, tetapi itu bukan maksud dan tujuan dari mujizat Tuhan.

Perlu pendapingan
Kalau melayani orang yang datang ke Meko sering kita tidak mampu lagi menyatakan sesuatu tentang persoalan yang ada. Dalam meyaani dan menyaksikan mujizat yang ada maka kita tidak mampu lagi mengungkapkan dengan kata-kata. Demikian diungkapkan oleh Pdt. Petrus Se’seng, S.Th dan Pdt. Gideon Tulak, S.Th yang selalu sibuk membantu yang mendampingi orang yang datang ke Meko. Sering harus begadang hingga pagi.
Dalam mendampingi mereka yang datang semua itu dikerjakan dengan penuh sukacita sebagai wujud pelayanan kasih kepada mereka yang mengalami berbagai penderitaan seperti sakit-penyakit dan berbagai pergumulan lainnya.

Pembenahan lapangan
Lapangan lokasi pengunjung membangun tenda selama ini cukup becek dan tidak akan mungkin ditempat memasang tenda. Untuk itu dibutuhkan pembenahan. Pembenahan dengan menimbun pasir campur kerikil.
Belum lagi soal jalan disekitar lapangan sulit dilewati kendaraan tetapi sekarang sudah dapat karena selesai ditimbun dengan biaya hasil dari biaya parkir kendaraan masuk yang dikelola.
Tenda dipasang di lapangan, lorong-lorong, halaman rumah, halaman kantor camat Pamona Selatan, halaman sekolah, halaman gereja, disamping kandang babi, dan dimana saja asal dapat memasang tenda.

Tidur apa adanya
Kalau kita melihat lokasi dan cara serta tempat orang tidur, maka mungkin kita katakan sangat tidak layak. Bayangkan saja, orang tidur beralaskan tanah dan kalau becek dialas dengan papan. Pengalaman selama ini tidak ada sakit, mengeluh bahkan banyak yang tidak tidur.

Ibadah
Menghadiri puncak ibadah kenaikan ke Surga dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2007. Ibadah dimulai dengan menyanyi beberapa lagu. Ada lagu yang diulang sampai puluhan kali. Orang yang menyanyi dengan spontan bertepuk tangan dan juga tidak bertepuk tangan, tergantung lagunya. Sepertinya peserta ibadah sudah tahu mana lagu yang perlu kita tepuk tangan dan mana yang syahdu dan tidak perlu tepuk tangan. Tidak ada komando atau petunjuk mau tepuk tangan atau tidak.

Khotbah
Dalam ibadah kesembuhan yang dilaksanakan tepat jam 24 tanggal 17 Mei, atau 18 Mei dini hari, sesudah menyanyikan sejumlah lagu-lagu sejak jam 19.00 - 24.00 di dahului dengan Doa Bapa Kami kemudian pembacaan Alkitab yang dibacakan oleh tiga orang, pertama dari Efesus 5:1-21 dengan judul: Hidup sebagai canak terang, kedua, Matius 6:5-14 tentang hal berdoa dan pembacaan ketiga, Lukas 10:1-12 dengan judul: Yesus mengutus tujuh puluh murid. Sesudah pembacaan dilanjutkan dengan mrnyanyi kemudian Doa Bapa Kami. Sesudah itu, dilanjutkan dengan khotbah yang amat sederhana, kalau mungkin kita sebut pokok-pokok pesan iman kepada peserta ibadah seperti: pulanglah dan jangan marah-marah lagi, kalau pulang supaya selalu membaca Alkitab, tidak merokok lagi, tidak main judi lagi, tidak mabuk-mabuk lagi, jangan mencuri, tidak mengingini gadis orang lain, tidak mengingini anak laki-laki orang lain. Artinya penekanannya pada 10 Hukum Taurat.

Silahkan sholat
Sebelum ibadah puncak tengah malam, ibu bidan mengumumkan dan meminta kepada saudara-saudara umat muslim untuk melaksanakan sholatnya dimana saja, ditenda-tenda. Hal ini disebabkan kita datang ke sini bukan untuk pengobatan tetapi pertobatan. Permintaan kepada saudara-daudara muslim ini selalu disampaikan kepada segenap orang yang datang sebagai bentuk toleransi kebersamaan. Laksanakan pertobatan itu dengan melaksanakan sholat lima waktu.

Mendoakan persoalan
Bagi seluruh orang yang datang, untuk mendoakan pergumulan mereka maka akan ditulis nama, umur, alamat dan masalahnya seperti merokok, penyakit sosial, katarak, penyakit yang diderita kemudian dikumpulkan di kotak pergumulan di depan mimbar ruangan ibadah. Inilah sebagai daftar pergumulan yang akan didoakan.

Kesembuhan dimana saja dan siapa saja di Meko
Soal kesembuhan tidak ditentukan oleh siapa yang memimpin, tetapi itu dilakukan dalam kelompok-kelompok tenda. Banyak yang sembuh ditenda-tenda karena orang menyanyi dengan penuh semangat dan bagi yang sakit, lumpuh, stroke, akan duduk diantara penyanyi dan dalam proses sedikit demi sedikit akan mulai bergerak mengikuti nyanyian yang ada. Kalau sudah ada tanda mulai bergerak maka dinamika lagu-lagu akan semakin tinggi dan diikuti dengan si sakit akan semakin dinamis pula mengikuti lagu-lagu yang pada akhirnya dapat berjalan perlahan-lahan. Hal itu jugalah yang disaksikan Bahana terhadap Pdt. Ch. Latuperissa yang sudah lama emeritus dan mengalami stroke berat, tendanya persis bersebelahan dengan tenda ditenpati bahana.
Thomas, salah seorang pengusaha sukses asal Timika yang sudah berkeliling dunia dan sudah pernah tidur di semua jenis hotel. Sesudah dijamah di Meko dan sembuh dari stroke berat yang dialaminya bertahun-tahun, memberi kesaksian kepada Pdt. Soleman Batti, M.Th (Ketua Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja) yang menemuinya di Meko, bahwa apa yang dialaminya sungguh luar biasa. Harta yang aku miliki tanpa berserah kepada Tuhan tidak ada artinya. Sekarang aku sudah bertobat dan semakin dekat kepada Tuhan.
Pendeta GPdI Efrata Donggala 6 bulan menderita sakit lever akut dan lambung sembuh. P. Marthen yang sembuh dari strokenya langsung memuji Tuhan atas kesmbuhan sambil mengatakan Tuhan luar biasa.

Bersih diri
Untuk dapat mengikuti seluruh rangkaian prosesi penyucian diri di Meko, maka diperlukan bersih diri. Bersih diri maksudnya perlu memeriksa diri apakah sudah tidak ada dendam, tidak berselisi paham dengan orang lain, tidak ada lagi ilmu gaib, opo-opo, jimat-jimat dan berbagai bentuk penyembahan berhala lainnya.
Kalau mau ke Meko menyaksikan mujizat dan mau mengalaminya, jangan medua hati, harus dengan iman yang teguh.

Pembaruan Budi
Banyak orang membayangkan bahwa di Meko itu adalah pengobatan yang membuat banyak orang sembuh. Pada hal, di Meko tidak ada proses penyembuhan secara medis. Demikian diungkapkan oleh Pdt. James Salarupa, S.Th pendeta jemaat GKST di Meko dan Pdt. Drs. Ishak Poleh, M.Si ketua I Majelis Sinode GKST.
Kalau ke Meko yang ada adalah pertobatan, refleksi diri, bersih diri, koreksi diri, sehingga terjadi “pembaruan budi” yang pada implikasi lainnya terjadi kesembuhan secara pisik. Kesembuhan secara pisik pun terjadi kalau kita yakin dan percaya.

Berbagai keinginan
Orang yang mengunjungi Meko tentu ada berbagai harapan dan keinginan. Ada juga yang ingin menyaksikan peristiwa, tidak masuk dalam kelompok yang ingin “menikmati dan mengalami” peristiwa iman yang monumental. Namun soal kesembuhan, banyak yang tidak sembuh secara jasmania.

Berbagai Gereja
Meko merupakan sebuah daerah yang relatif kecil, hanya sebuah kecamatan, yaitu kecamatan Pamona Selatan. Letaknya sekitar 30 kilometer dari Tentena (dimana ada kantor Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah) atau 90 km arah selatan Poso, persis di pinggir Danau Poso.
Ada GKI Sulsel, GKMI, Gereja Patekosta Alva Omega, Gereja Katholik, Gereja Toraja.

Dukungan
Sejak semula ketika peristiwa Meko terjadi, maka Ketua Umum Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja Pdt. Soleman Batti, M.Th dan Sekretaris Umum Pdt. I.Y. Panggalo, D.Th mendukung penuh apa yang terjadi, bahkan diberbagai pertemuan mengumumkan mengenai peristiwa yang terjadi di Meko. Keduanya juga sudah kembali dari Meko. Ini sebagai bukti dukungan. Hal ini pulalah yang merupakan salah satu pemicu begitu banyak orang Toraja yang mengunjungi Meko, dan yang paling utama adalah kesembuhan baik jasmani maupun rohani mereka yang sudah kembali dari Meko.

Kantor kosong
Menjelang peringatan kenaikan Tuhan Yesus ke Sorga, banyak kantor kosong, begitu juga pegawai swasta lainnya di Tana Toraja. Pada umumnya mereka menyiapkan diri berangkat ke Meko. Tak heran ketika hari Kamis 17 Mei 2007 pada siang hari ketika Bahana yang sementara berada di Meko mengadakan percakapan lewat telepon sesudah ibadah dengan Pdt. Soleman Manguling, M.Th, dan informasi yang kami peroleh bahwa kendaraan amat jarang mobil yang lalu lalang hari itu. Keadaan amat sepi tidak seperti biasanya.

Orang gilan baru
Kalau orang mau mencari kesembuhan itu soal biasa. Tetapi kalau belum “bersih diri” maka dapat saja menjadi orang gila baru. Hal ini disebabkan terjadi pertentangan dalam dirinya antara nilai iman kristiani dengan pergumulan karena persoalan-persoalan pribadi yang belum dapat diselesaikan dengan baik.

Prosesi ibadah
Ibadah puncak setiap minggu terjadi pada hari Kamis malam dimulai dengan lagu-lagu mulai dari jam 19.00 hingga jam 24.00. Sesudah itu, doa Bapa pengantar masuk ke pembacaan Alkitab. Sesudah pembacaan Alkitab dilanjutkan dengan beberapa lagu kemudian Doa Bapa Kami. Untuk semacam renungan disampaikan dalam bentuk amat sederhana, singkat, dan bahasa yang sangat mudah dipahami.

Saudara muslim juga mengalami hal yang sama.
Menurut kesaksian mereka yang sudah kembali dari Meko, menyaksikan begitu banyak saudara kita dari Muslim, Budha yang pergi ke sana dan yakin bahwa penyakit mereka dapat sembuh, maka hal itu terjadi bagi mereka. Banyak dari antara mereka yang sudah kembali ke kampung mereka dan menyatakan bahwa yang menyembuhkan mereka adalah Tuhannya orang Kristen yaitu Yesus.

Jamahan
Sebelum pengunjung sampai ribuan, maka setiap orang dijamah satu persatu dengan memberikan pesan “siapa dia” (siapa orang yang dijamah) langsung oleh Selvin. Tetapi sesudah ribuan orang, maka bentuk penjamahan masih tetap satu persatu tetapi itu dilakukan hanya menjamah dengan memegang muka setiap orang tanpa memberitahukan siapa dia lagi. Demikian diungkapkan Albert Manga’ yang setia membantu pelayanan sejak awal peristiwa tersebut.
Acara jamahan merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang selalu dinanti-nantikan setiap orang yang ke Meko. Penjamahan biasanya dilaksanakan pada setiap hari Jumat, mulai jam 07.00 - 12.00 kemudian sore hari jam 14.00 - 19.00. Tapi kali ini dimulai jam 10.00 - 12.00 dan jam 14.00 - 19.00. Diluar jam yang sudah diumumkan maka jamahan tidak lagi dilaksanakan. Mereka yang belum dijamah diminta untuk sabat menunggu satu minggu lagi.
Jamahan kali ini dalam tiga bentuk. Bentuk pertama adalah “bidan” dan para “security” (lebih tepat disebut asistennya) berjalan keliling. Para security mengatur dengan jalur ditengah dari tenda ke tenda dengan peserta duduk berhadapan, kemudian ibu bidan berjalan memberi jamahan kepada setiap orang. Orang yang sudah dijamah berdiri. Bentuk kedua, adalah orang duduk dalam ruang utama (halaman rumah Selvin) kemudian ibu bidan berkeliling menjamah setiap orang. Orang yang sudah dijamah langsung berdiri dan keluar kemudian orang lain masuk lagi. Bentuk ketiga, ketika ibu bidan sudah mulai lebih, para security mengatur pengunjung sehingga ibu bidan duduk dan orang berbaris untuk dijamah. Kalau selesai dijamah maka akan langsung keluar ruangan.
Karena waktu untuk menjamah pengunjung sudah habis, maka ibu bidan mengumumkan bahwa jamaham bagi mereka yang belum, itu akan dilaksanakan minggu depan.

Pulang - antri - macet
Salah satu persoalan besar ketika pagi tiba pada hari sabtu adalah kendaraan yang diperkirakan 5.000 mobil ditambah lagi motor. Mobil yang ditumpangi Bahana untuk kembali, berangkat dari lokasi jam 06.30 berjalan amat pelan, bahkan lebih pelan dari orang jalan kaki. Bayangkan untuk jarak 2 km ditempuh dalam waktu 45 menit. Dengan lebar jalan sekitar 5 meter, kiri-kanan tempat parkir mobil dan motor.

Jawaban: Dimanakah Tuhan?
Salah satu pergumulan berat masyarakat kristiani di Poso dan sekitarnya selama beberapa tahun terakhir ini, khususnya dalam menghadapi kerusuhan sosial yang mengarah ke persoalan SARA adalah pertanyaan” Dimanakah Tuhan? Bahkan lebih radikal lagi: masih adakah Tuhan?. Dan inilah jawabannya. Tuhan menjawab melebihi apa yang dapat dipikirkan manusia. Jawabannnya tidak dfapat dijangkau dengan akal manusia. Demikian diungkapkan Pdt. Ishak Pole, Pdt. James Salarupa dan beberapa tokoh Gereja yang dapat dijumpai Bahana selama dalam perjalanan jurnalistik di Meko.

Meruntuhkan tembok gereja
Peristiwa mujizat di Meko ini merupakan sebuah momen penting yang meruntuhkan tembok-tembok gereja yang selama ini dibentengi dengan doktrin. Dalam ibadah di Meko tidak ada lagi doktrin dan aliran yang ada adalah semua memuji Tuhan dan kebersamaan tanpa perbedaan dan batas. Demikian pendapat Pdt. James Salarupa dengan Pdt. Dr. Tius. Orang yang datang beribadah bersama mencari kesembuhan baik kesembuhan jasmania maupun rohani larut dalam kebersamaan, tidak ada lagi batas, kaya-miskin, tua-muda, sakit-sehat, juga dengan berbagai latar belakang budaya, agama, suku dan berbagai perbedaan lainnya, tidak ada lagi tempatnya. Bahkan untuk menanyakan salah satu perdaan diantara kita yang datang ke sana, sangat sulit mulut kita akan mengucapkannya.

Rekonsiliasi Sosial Versi Allah
Rekonsiliasi sosial masyarkat terbangun lewat peristiwa ini. Kalau kita sudah ada dalam lokasi, maka kita tidak dapat melihat siapa pejabat, siapa beragama apa, suku apa, dan berbagai perbedaan yang ada. Semua pengunjung larut dalam kebersamaan. Rasa kekeluargaan, rasa kebersamaan, rasa senasib, terbangun dan amat sulit (mulut tidak mungkin mengucapkan dan mendiskusikan) perbedaan yang ada diantara pengunjung. Rasanya dan yang terjadi adalah semua merasa bersaudara penuh cinta kasih tanpa ada rasa perbedaan.
Jadi kalau kita melihat rekonsiliasi diantara mereka yang datang, maka inilah rekonsiliasi versi Allah. Malino I dan II tidak ada lagi artinya bila dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi di Meko ini. Demikian diungkapkan Pdt. James Salarupa, S.Th pendeta jemaat yang sejak semula selalu melayani bersama beberapa pendeta lainnya dalam sebuah wawancara diselah-selah kesibukan melayani ditemani Pdt. Dr. Tertius seorang tegeolog muda di lingkungan GKST.
Lebih jauh diungkapkan Pdt. Salarupa bahwa banyak bukti yang langsung dilihat sendiri mengenai mujizat itu. Wande Rutana yang bungkuk asal kampung Bancea langsung berdiri lurus.

Dampaknya
Dampak dari Meko Blessing menimbul sebuah gerakan baru seperti yang diungkapkan Pdt. Menathan Tulak, S.Th ketika ditemui di Panggala (lebih dari 20 km dari Rantepao, Tana Toraja, mengungkapkan bahwa dampak dari peristiwa Meko dalam kehidupan berjemaat adalah sangat luar biasa. Ada warga jemaat yang sudah lebih 10 tahun berselisih paham akhirnya dengan kesadaran sendiri mengunjungi dan saling memaafkan sebelum ke Meko. Bahkan meminta untuk duduk bersama dalam perjalanan dari Toraja menuju ke Meko. Juga sangat banyak warga jemaat yang memadati gedung Gereja setiap Minggu.
Di Sa’dan ada jemaat yang persembahannya selama ini paling tinggi Rp. 2.000.000,- pada ibadah hari minggu, tetapi sesudah banyak warga jemaatnya kembali dari Meko, maka pada ibadah paskah yang dirangkaikan dengan perjamuan kudus jumlah persembahan Rp. 32.000.000,- lebih dan orang yang ikut perjamuan kudus 200 lebih dimana sebelumnya hanya beberapa puluh saja.
Paruru yang sudah dua kali mengunjungi Meko, mengatakan bahwa sebagai seorang perokok berat maka sesudah kembali dari Meko tidak merokok lagi bahkan kalau mencium asap rokok akan terasa sakit kepala. Hal ini juga diungkapkan oleh Mesakh, Andi dan sejumlah perokok berat yang sudah kembali dari Meko. Kalau dihitung-hitung biaya rokok cukup untuk belanja kebutuhan sayur-mayur satu keluarga setiap hari.
Dalam kehidupan berjemaat, seperti yang terjadi di Gereja Toraja Jemaat Tambakuku, Nanggala, Kabupaten Tana Toraja yang selama ini, dalam ibadah hari minggu, lebih menekankan pada ketenangan, bahkan menyanyi dengan kurang semangat, tetapi setelah sebagian besar warga jemaat kembali dari Meko, dalam ibadah tanggal 27 Mei 2007, dibuka dengan lagu-lagu penuh semangat diiringi tepuk tangan juga dalam ibadah ada paduan suara ibu-ibu dimana banyak dari antara mereka yang selama ini tidak pernah tampil di depan, sekarang sudah dapat tampil di depan menyanyi dengan penuh semangat.
Lagu-lagu yang dianyanyikan dalam ibadah di Meko, kini mengalun di setiap sudut pasar, toko, setiap ibadah rumah tangga, dan berbagai pertemuan lainnya dalam kehidupan di Toraja, Luwu, bahkan hingga keberbagai pelosok di Sulawesi Selatan dan tidak hanya orang Kristen tetapi juga orang lain yang sudah mendapatkan berkat di Meko.

Intinya adalah pertobatan.
Peristiwa di Meko yang menjadi inti adalah pertobatan. Soal kesembuhan secara jasmani itu adalah sebuah implikasi atau hasil dariu pertobatan itu sendiri. Jadi kalau orang mau ke Meko hanya karena ingin sembuh dari penyakitnya maka dia mungkin akan kecewah. Jadi kalau ke Meko tujuan kita adalah untuk menyucikan diri dari dosa-dosa dan mau kembali berjalan di atas rel kehidupan beriman kita sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Demikian diungkapkan oleh Luther K, Andarias, Yeheskiel, Listawati, Mesakh, Oktanianus dan sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa yang terjadi di Meko.

Kesaksian Drs. Musa Toding, MBA
Drs. Musa Toding, MBA mantan Rektor Universitas Kristren Indonesia Toraja, yang pergi ke Meko akhir Maret lalu, sudah memberikan kesaksian di kantor Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja pada tanggal 2 April 2007 jam 11.00 dan penulis menyaksikan sendiri kondisinya. Dia sudah tidak memakai tongkat dan dapat memberikan salam dengan tangan kanannya. Sebelumnya beberapa tahun dia selaluj ditemani tongkat dan orang yang siap membantu kemana dia akan berjalan. Tangan kanannya tidak dapat menyalami orang, sehingga selalu memakai tangan kiri kalau memberi salam. Begitu pula tongkatnya sudah tinggal di Meko karena sudah dapat berjalan tanpa memakai tongkat.
Selain itu, sejumlah orang yang sudah kembali memberi kesaksian di dalam ibadah hari minggu dan ibadah rumah tangga. Bahkan dimanapun mereka duduk, senantiasa menceriterakan mengenai apa yang mereka alami di Meko.
Dalam ibadah hari minggu 8 April 2007 di jemaat Sion Sangkombong, ada sejumlah anggota jemaat yang kembali dari Meko memberikan kesaksian mengenai pengalaman iman mereka. Ada yang sebelumnya harus memakai kaca mata, tetapi di Meko kacamata itu ditinggalkan karena sudah dapat membaca tanpa menggunakan kaca mata.
Dari Sa’dan, sebuah daerah sebelah utara Tana Toraja yang kembali dari Meko mengalami mujizat Tuhan yang luar biasa. Ada yang buta sejak lahir dapat melihat kembali. Ada yang buta, tuli sudah dapat melihat. Belum lagi yang mengalami beberapa penyakit.

Jadi tukang urut datakan
Salah satu pengalaman yang cukup menarik ialah yang dialami oleh mama Anto salah seorang anggota jemaat di Bancea. Hampir setiap minggu selama dua bulan terakhir ke Meko (jarak Meko dengan Bancea 23 km dan untuk menghemat biaya perjalanan dia naik truk) terutama pada hari kamis menjelang ibadah puncak penyembuhan pada malam jumat tengah malam.
Pengalamannya, ada seorang anggota jemaat yang sudah lama tidak ke gereja karena sakit punggung mengeyebabkan tidak mampu berjalan dan hanya tinggal di kamar di rumahnya. Ketika mama Anto berkunjung, maka si sakit meminta minjak kelapa untuk didoakan kemudian dipakai mengurut badannya. Mama Anto yang belum pernah berdoa di depan orang lain sepertinya panik, tetapi karena desakan dari si sakit, maka Mama Anto berdoa untuk kesembuhan si sakit dan meminta agar minjak kelapa ini menjadi sarana kesembuhan. Sesudah itu, mama Anto mengurut seluruh badan dari si sakit sekitar satu jam. Hari minggu dengan heran mama Anto melihat si Sakit sudah pergi ke gereja walaupun masih tertatih-tatih. Baginya ini sebuah mujizat yang menurutnya sebagai buah mujizat dari Meko.

Penyegaran iman
Bagi Evie, Anto dan Daud, pengunjung asal Makasar mengungkapkan bahwa bagi yang tidak mempunyai penyakit secara pisik, maka kegatangannya ke Meko sebagai sebuah penyegaran iman. Datang ke Meko untuk mendapatkan kesegaran baru dalam beriman.

Jangan membeli rokok dan minuman keras
Sepertinya di komando, para penjual di Tentena dan daerah sekitar yang berdekatan dengan Meko, kalau orang membeli pasti ditanya jangan membeli rokok, minuman keras dan domino kalau mau ke Meko. Tidak hal ini pasti diketahui kalau sempat masuk ke lokasi. Sebagai contoh: ada seorang pelayan (pendeta) yang membawah rokok, walaupun jaraknya lebih seratus meter dari tempat ibu bidan berdiri, tetapi ia mengumumkan bahwa ada seorang hamba Tuhan dalam lokasi yang mengeraskan hatinya dan masih mencoba-coba membawah rokok lengkap dengan warna baju yang dikenakan. Memang secara akal manusia tidak mungkin tetapi menurut bidan bahwa hal itu adalah kuasa Tuhan, dan dia hanyalah sebagai alat Tuhan.

Iklan mulut ke mulut
Iklan yang paling jitu mengenai peristiwa Meko adalah ceritera/kesaksian dari mulut ke mulut mengenai berbagai mujizat yang terjadi.

Berusaha datang
Mujizat Meko membuat kita berusaha sekuat tenaga dan juga mencari uang untuk biaya datang ke Meko menyaksikan dan mau mengalami mujizat yang terjadi. Dan senadainya pertandingan sepakbola walaupun itu kelas dunia belum tentu mau datang ke Meko. Demikian diungkapkan oleh Yusuf dan Kombo Randa Bunga, dua orang dari Makassar yang menghabiskan 7 hari dan dana ratusan ribu untuk datang ke Meko.

Minyak kelapa
Minjak kelapa atau minyak gosok yang dibeli kemudian dibawah kembali ke rumah sebagai sebuah minyak untuk dipakai mengurut kalau sakit badan. Minjak kelapa tersebut diisi dengan bawang mera tanpa diiris. Kesembuhan karena memakai minjak kelapa ini banyak dialami orang yang tidak ke Meko tetapi diurut dengan minjak ini.

Pergumulan pribadi
Soal keberangkatan ke Meko dalam perjalanan jurnalistik, semula hanya mau berangkat seorang diri, tetapi sesudah bergumul dalam doa selama beberapa hari, maka diputuskan untuk berangkat bersama keluarga (anak dan istri) serta keluarga lainnya yang akhirnya untuk menghemat biaya maka dipilih untuk naik truk dan dapat membawah kompor dan kebutuhan makan minum selama di Meko. Jadi perjalan jurnalistik bagi Bahana kali ini digabung dengan “siara iman” dan “reatret keluarga”. Sungguh suatu pengalaman tak terlupakan. Sebuah perjalanan siara iman untuk “menyucikan diri”.
Se sampai ke Meko pada hari Rabu pagi, tanggal 16 Mei 2007 mengunjungi beberapa tempat untuk melihat suasana yang ada. Sesampai ke pusat ibadah (halaman rumah Selvin) bahana menyaksikan begitu banyak aktifis gereja dari Makassar dan berbagai daerah di Indonesia yang pernah bertemu, kenal dan diskusi dengan Bahana. Semuanya itu disalami satu persatu dan sebagian besar sudah mengalami perubahan tetapi yang paling utama, adalah semua sudah datang mengadakan pertobatan dan berserah diri kepada Tuhan. Karena tak tahan menahan haru maka air mata mulai mengalir. Bahkan kegerakan baru dalam kehidupan berjemaat di Toraja dan beberapa daerah sekitarnya terbangun.

Diskusi panjang
Peristiwa Meko, merupakan sebuh fenomena baru dalam kehidupan beriman, tetapi pihak lain peristiwa ini merupakan sebuah diskusi panjang. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah ajaran sesat dan berbagai pendapat lainnya. Warga jemaat, masyarakat umum mendiskusikan kejadian ini baik di pasar, rumah sakit, dan berbagai kesempatan.
Dalam kehidupan berjemaat, setiap ada pertemuan, apakah itu kebaktian rumah tangga, ibadah hari minggu, orang senantiasa membahas mengenai kejadian Meko, anu sembuh, anu dijamah kemudian langsung berdiri dan berjalan kesana-kemari.
Persoalan sekarang menurut sejumlah tokoh agama adalah bagaimana memelihara semangat yang meluap-luap bagi mereka yang sudah mengalami mujizat di Meko dapat tetap berkobar-kobar dalam kehidupan warga jemaat.

Warung dadakan
Di Meko, ratusan warung makan dan minum dadakan yang dibangun apa adanya dengan menjual mie instan, makan dengan lauk pauk apa adanya dengan harga Rp. 3.000,- hingga Rp. 10.000,-. Selain itu, ada WC dibangun apac adanya dengan biaya sekali buang air kecil Rp. 1.000,- dan buang air besar Rp. 3.000,-.

Di uji oleh waktu
Persoalan sekarang adalah semuanya akan diuji oleh waktu. Apakah kesembuhan yang sudah dialami itu akan semakin baik ataukah akan kembali ke model semula. Hanya waktulah yang akan menjadi saksi.

Rantepao Akhir Mei 2007

Aleksander Mangoting

Kuasa Tuhan Nyata di Meko, Sulawesi Tengah

Meko merupakan sebuah Kecamatan di Pamona, lebih 10 km dari Tentena arah ke selatan, bagian barat Danau Poso. Jarak dari Poso 70 km lebih arah selatan. Daerah ini selama ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Bahkan saat sekarang belum dijangkau oleh sinyal HP.

Sebuah peristiwa iman terjadi sejak Januari 2007 dimana anak yang baru berumur 8 tahun, bernama Selvie, anak guru (kedua orang tuanya adalah guru). Dia mulai mengobati orang yang sakit (permulaan dan perkembangan selanjutnya tidak kami ketahui dengan pasti).

Namun akhir-akhir ini, begitu banyak orang yang berkunjung ke Meko untuk datang mencari kesembuhan. Namun menurut mereka yang sudah kembali dari Meko, bahwa di sana terjadi peristiwa iman. Orang yang mempunyai pergumulan, penyakit, pergi mencari kesembuhan ke Meko. Namun yang paling mendasar adalah keyakinan yang penuh (yakin 100 %). Atau meniatkan dan yakin akan terjadi mujizat maka hal itu akan terjadi. Saksi mengenai hal itu sudah banyak.

Kesaksian Drs. Musa Toding, MBA

Drs. Musa Toding, MBA mantan Rektor Universitas Kristren Indonesia Toraja, yang pergi ke Meko akhir Maret lalu, sudah memberikan kesaksian di kantor Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja pada tanggal 2 April 2007 jam 11.00 dan penulis menyaksikan sendiri kondisinya. Dia sudah tidak memakai tongkat dan dapat memberikan salam dengan tangan kanannya. Sebelumnya beberapa tahun dia selaluj ditemani tongkat dan orang yang siap membantu kemana dia akan berjalan. Tangan kanannya tidak dapat menyalami orang, sehingga selalu memakai tangan kiri kalau memberi salam. Begitu pula tongkatnya sudah tinggal di Meko karena sudah dapat berjalan tanpa memakai tongkat.

Selain itu, sejumlah orang yang sudah kembali memberi kesaksian di dalam ibadah hari minggu dan ibadah rumah tangga. Bahkan dimanapun mereka duduk, senantiasa menceriterakan mengenai apa yang mereka alami di Meko.

Dalam ibadah hari minggu 8 April 2007 di jemaat Sion Sangkombong, ada sejumlah anggota jemaat yang kembali dari Meko memberikan kesaksian mengenai pengalaman iman mereka. Ada yang sebelumnya harus memakai kaca mata, tetapi di M\eko kacamata itu ditinggalkan karena sudah dapat membaca tanpa menggunakan kaca mata.

Dari Sa’dan, sebuah daerah sebelah utara Tana Toraja yang kembali dari Meko mengalami mujizat Tuhan yang luar biasa. Ada yang buta sejak lahir dapat melihat. Ada yang buta, tuli sudah dapat melihat. Belum lagi yang mengalami beberapa penyakit.

Saudara muslim juga mengalami hal yang sama.
Menurut kesaksian mereka yang sudah kembali dari Meko, menyaksikan begitu banyak saudara kita dari Muslim yang pergi ke sana dan yakin bahwa penyakit mereka dapat sembuh, maka hal itu terjadi bagi mereka.

Mujizat terjadi karena yakin
Mereka yang sudah mengalami mujizat kesembuhan di Meko memberi kesaksian bahwa apa yang mereka alami sebenarnya lebih pada keyakinan dan pemulihan hati mereka yang mengakui kesalahan mereka (bertobat) dan mau berdamai dengan semua orang.

Ribuan orang setiap hari
Bulan Maret lalu, setiap hari ada ribuan orang yang mengunjungi Meko tempat rumah Selvie. Orang membawah dan mendirikan tenda tempat mereka menginap. Juga ada yang tidur di rumah Selvi dan juga rumah penduduk sekitarnya. Soal makan, banyak yang menjual makanan dengan harga sekitar Rp. 5.000,- - Rp. 10.000,- sekali makan.

Orang yang berkunjung berasal dari berbagai daerah di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, bahkan dari luar Sulawesi seperti Papua, Jawa, Sumatera, Kalimantan bahkan terakhir ada yang beradal dari luar negeri. Mereka yang berasal dari daerah sekitar seperti dari Toraja mereka berangkat dengan carter mobil dan biasanya berjalan berombongan beberapa mobil.

(Dikumpulkan oleh Aleksander Mangoting).