Kamis, 07 Februari 2008

Kehadiran PWGT seharum bunga mawar

Oleh Aleksander Mangoting

Wanita dalam lingkup pelayanan Gereja Toraja merupakan sebuah potensi yang luar biasa. Potensi ini perlu dibina, dikembangkan sehingga dapat mempunyai fungsi yang baik. Swelain itu, berbagai persoalan yang dihadapi wanita dalam kehidupan seperti: perlakuan tenaga kerja wanita, pelecehan seksual, bias gender, wanita lemah, dan berbagai perlakuan yang seharusnya tidak perlu dialami oleh kaum wanita hanya karena mereka adalah wanita. Kodrati wanita hanyalah: menstruasi, hamil dan menyusui. Selain itu, laki-laki dan wanita adalah sama. Artinya tidak ada perbedaan. Kalau sekarang kaum wanita mengalami berbagai perbedaan dengan kaum laki-laki, maka hal itu merupakan sebuah ketidak adilan yang dibangun oleh masyarakat.
Wanita Gereja Toraja didalam kehadirannya ditengah masyarakat diharapkan mampu menghadirikan wajah Gereja dalam masyarakat, membangun budi pekerti dalam membangun generasi muda lewat budaya dan agama, membangun peran perempuan dalam masyarakat, sebagai pendidik pratama dan utama.
Hal tersebut diatas diungkapkan oleh Dra. Hj. Andi Kasmawati Paturusi, MM Sekretaris Menteri Pemberyaaan Perempuan RI pada puncak peringatan 40 tahun Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT) yang dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2006 di halaman Gereja Toraja jemaat Rantepao. Dalam acara ini dihadiri para tokoh wanita se Gereja Toraja, tokoh masyarakat Toraja, tokoh wanita se Tana Toraja, dan sejumlah undangan yang berasal dari seluruh tanah air.

Sebuah syukuran
Seseorang kalau dapat menyelesaikan perjalanan panjang, maka tentu akan mensyukurinya. Begitu juga kalau sebuah organisasi, yang kalau dalam kurun waktu panjang dapat langgeng dan mencapai harapan daqn cita-cita organisasi itu dibentuk, maka tentu ucapan syukur dan terima kasih perlu dinaikkan kepada Tuhan sang pencipta. Begitu juga perjalanan Persekutuan Wanita Gereja Toraja yang oleh perkenan Tuhan telah mencapai usia 450 tahun. Demikian rangkuman dari pokok pikiran yang disampaikan dalam rangka peringatan 40 tahun PWGT oleh Ketua Umumnya Pdt. Ny. D.M. Anggui, S.Th. Salah satu hal mendasar yang dapat dikerjakan serangkaian dengan peringatan ini adalah menerbitkan buku kenangan, yang diharapkan menjadi titik acuan dalam pelayanan selanjutnya dari PWGT.

Wanita sebagai sebuah potensi Gereja Toraja.
Salah satu potensi Gereja Toraja adalah para kaum wanita. Namun dalam perjalanan kehadiran Gereja Toraja, secara khusus atas pelayanan dari misionaris GZB dari Belanda memegang dasar Alkitab yaitu Kor 14: 34-35 “Perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam jemaat, mereka tisak diperbolehkan berbicara jika mereka ingin menanyakan sesuatu, baik mereka menanyakan kepada suaminya di rumah. Tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam jemaat”.
Seiring perjalanan pelayanan Gereja Toraja, dan pemahaman teologi berkembang seiring dengan perkembangan waktu, maka kaum wanita dalam lingkungan Gereja Toraja yang memulai kegiatannya dalam bentuk kerja sosial, keterampilan, persekutuan wanita ditingkat jemaat dengan berbagai agenda kegiatan sosial sekitar pelayanan di dapur, rumah yang kesemuanya diarahkan untuk mengembangkan potensi kaum wanita di bidang keterampilan dan pengelolaan rumah tangga. Juga pelayanan sosial lainnya sweperti mengunjungi orang sakit. Juga dalam pembinaan kerohanian yaitu membaca dan mendalami Firman Allah serta mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam pembinaan keluarga.

Awal berdirinya
Mengenai kehadiran PWGT sebagai sebuah organisasi intra gerejawi sebagai sebuah pelayanan kategorial dalam lingkup pelayanan Gereja Toraja, maka kita perlu memberikan gambaran kapan awal mujla munculnya. Awal munculnya ketika bulan Oktober 1966 tiga orang yaitu: Pdt. Dr. Th. Kobong sebagai Ketua LPK Tangmentoe, Ny. G.S. Kobong (almh) dan Ny. Adolfina Lebang - Palamba, mengadakan diskusi mengenai bagaimana kalau kita membentuk suatu wadah bersama untuk memwadahi berbagai persekutuan wanita yang sudah ada pada waktu itu di tingkat Jemaat. Adapun bentuk persekutuan kaum wanita waktu itu seperti kaum Dorkas, kaum ibu Ora et Labora, kaum ibu Ester.
Dalam diskusi tersebut, diputuskan untuk mengadakan pertemuan kaum ibu yang dihadiri oleh wanita dari Klasis dalam lingkup Gereja Toraja. Hal ini dilaksanakan pada tanggal 1-5 Desember 1966 di Tangmentoe, Tana Toraja yang diikuti sekitar 60 peserta, dan pada akhir pertemuan itu yaitu pada tanggal 4 Desember 1966 terbentuklah Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT). Seluruh peserta kembali membentuk pengurus pada klasis masing-masing membentuk PWGT di tiap Klasis.
Sejak berdirinya 1966 kepengurusan PWGT pada tingkat Pusat terpilih sebagai Ketua Umum Ny. A. Lebang Palamba dan Sekretaris Umum Ny. G.S. Kobong (almh) dan dilengkapi sejumlah pengurus. Hal ini berlangsung sejak 1966-1984 selama enam kali persidangan. Selanjutnya periode 1985-1988 Ketua Umum Pdt. Ny. D.M. Anggui, S.Th Sekteraris Pdt. Ribka Sinda, B.Th, Periode 1988-1991 Ketua Umum Pdt. Ny.D.M. Anggui, S.Th Sekretaris Umu Pdt. Nn. A. Parrangan, S.Th, Periode 1992-1997: Ketua Umum Ny. M. Rantesalu-Lande’, Sekretaris Umum Pdt. Ny. Hermin Sangka’-Lambe, S.Th, Periode 1997-2002 Ketua Umum Ny. D. Madethen, S.Th Sekretaris Ny. L. Polandos, B.Th, Periode 2002-2007 Ketua Umum Pdt. Ny. D.M. Anggui, S.Th Sekretaris Umum Pdt. Masak Etung Abang, S.Th.

Wanita dan Politik
Hal yang amat stratregis dan monumental dalam dalam perayaan 40 tahun berdirinya PWGT adalah dilaksanakannya Diskusi panel mengenai peran serta perempuan dalam dunia politik dengan pembicara Laksama Madya Christina Rantetana, MPH, Titi Sumbung, SH, MPA, dan Pdt. Drs. Daud Sangka Palisungan, M.Si. Dan menurut Titi Sumbung, bahwa kegiatan pemahaman peran serta perempuan dalam dunia politik ini merupakan yang pertama kali dalam sejarah Gereja-gereja yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Sejalan dengan itu pula, Elisabeth.P salah seorang tokoh wanita Gereja Toraja mengungkapkan bahwa kegiatan ini amat monumental bagi perjalanan PWGT dan baru mengerti tentang politik, karena selama ini politik itu saya anggap kotor. Jadi, sebaiknya perempuan itu harus aktif berpolitik sesuai dengan firman Tuhan. Hal itu nyata dalam presentase Pdt. Sangka, bahwa politik itu adalah untuk mengatur kehidupan kota pada masa lampau, tetapi kini perlu diterjemahkan dalam kerangka mengatur kehidupan bernegara.

Wanita Gereja Toraja dan gerakan Oikumene
Dalam perana serta wanita Gereja Toraja dalam pergerakan Oikumene dapat kita lihat lewat Ny. Esther Lande di Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Ny. Ruth Beslar Ramba di Cikembar dan motivator Wanita Gereja Toraja di Kondoran, Tana Toraja yang bekerjasama dengan Wanita Gereja di Belanda, daqn beberapa lembaga lainnya. Juga aktif dalam kunjungan ke sejumlah gereja lain, seperti GMIM, GKPB, GKJ, GPM, GKST, GBKP dan beberapa lembaga lainnya. Dalam pergerakan Oikumene juga yang pernah mengikuti kegiatan tingkat dunia seperti Ny. D.M. Anggui, S.Th mengikuti pertemuan Asian Church Women’s Conference (ACWC) tahun 1966, peran serta PWGT dalam pergerakan lewat PERMUT (Persekutuan Mata Uang Terkecil), Pdt. Henriette Hutabarat Lebang, D.Ed menjadi Pengurus Dewan Gereja se Asia, pengurus Gereja Reformed se Dunia, pengurus Dewan Gereja se dunia, dan sejumlah peran aktif sejumlah kaum wanita Gereja Toraja baik tingkat Nasional, Regional maupun internasional.
Selain itu, peranan aktif wanita Gereja Toraja untuk tingkat Nasional seperti pada Sidang Raya XII PGI Pdt. Lidya Kambo Tandirerung, S.Th terpilih sebagai anggota MPH PGI.
Dalam berbagai catatan dan dokumen yang ada, maka peranan wanita gereja Toraja dalam berbagai bentuk pertemuan seperti konsultasi, pertemuan, Sidang Raya, lokakarya, workshop dan bebrgaai bentuk pertemuan Oikumene baik tingkat lokal, Nasional, regional maupun internasional. Kita dapat menyebutkan sejumlah nama yang pernah ikut berperan penting dalam pergerakan Oikumene seperti: Ny. A.Lebang-Palamba, Ny. G.S. Kobong (almh), Ny. M. Kara’, Pdt. Ny. D.M. Anggui, S.Th, Ny. Ruth Beslar Ramba’, Ny. Chr. Sahbandar, Ny. E. Pabuaran, Pdt. Ny. Yorita Sa’pang Allo, M.Th, Pdt. Lidya Kambo Tandirerung, MA.M.Th, Pdt. Dr. Henriette Hutabarat Lebang, MA, Pdt. Yohana Pabontong, M.Th, Pdt. Masak Etung Abang, S.Th, Pdt. Erni Tonapa, S.Th dan lain-lain.

Ma’muri’
Salah satu persoalan pentinjg yang dihadapi masyarakat Toraja sejak Zending mulai melayani di Toraja adalah banyaknya laki-laki melakukan judi sabung ayam. Dalam konteks yang demikian, peranan keluarga amat penting dan sentral untuk mengubah persoalan ini. Dan lewat pendidikan diharapkan perubahan itu dapat terwujud. Untuk itulah, maka istri calon guru dipersiapakan oleh Zending lewat pendidikan nonformal yang disebut ma’muri’ yang secara harafiah diterjemahkan “menjadi murid” yaitu sebuah bentuk pendidikan semacam magang di keluarga Zendeling. Mereka tinggal bersama di rumah Zendeling dan diajari soal keterampilan menjahit, memasak, mengatur rumah, mendidik anak dengan metode learning by doing atau belajar memalui pengamatan dan praktik.
Untuk lebih meningkatkan keterampilan maka Zendeling bekerjasama dengan istri controleur Rantepao-Ma’kale waktu itu membuka Sekolah Kepandai Putri (SKP). Alumni SKP ini banyak yang diangkat menjadi pekerja sosial di kampung-kampung waktu itu. Selanjutnya SKP ini berubah nama dengan nama Sekolah Kesehateraan Keluarga Pertama (SKKP). Kemudian dibuka Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA).

Bintranita
Berdasarkan pergumulan wanita, maka Pengurus Pusat PWGT membuka Kursus Keterampilan Wanita sejak Maret 1975 dengan pimpinan Ny. G.S. Kobong (almh) dengan lama pendidikan 5 bulan, minimal tamatan SD, belum menikah, tinggal di asrama dengan materi: menjahit, memasak, menyulam, merangkai bungah, pengetahuan umum seperti agama dan etika. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai kebutuhan di lapangan maka dibuka kursus salon dan juga pembukaan cabang di Luwu pada tanggal 15 September 1999 dan di Makale pada tahun 2000. Semua ini dilaksanakan untuk lebih meningkatkan jumlah tamatan dan juga kualitas tamatan sesuai dengan perkembangan yang ada. Dari semua ini, maka sebuah kata yang perlu direnungkan adalah: Pengembangan keterampilan itu sebuah tantangan yang tiada akhir.

Pembukaan konveksi
Dalam perkembangan selanjutnya, dibuka Pusat Pembinaan Keterampilan (PPK) di Kalambe’ dengan membuak konvenksi sejak 2004. Konveksi ini dibuka dengan modal awal dari Jemaat Velp dari Belanda untuk pakaian anak Sekolah.

Modal bergulir.
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh para wanita di desa adalah soal modal awal.Dan bagi para alumni Bintranita yang ingin membuka usaha mandiri tetapi tidak mempunyai dana untuk modal usaha seperti membeli mesin jahit, membuka salon maka PWGT mengusahakan dana pinjaman lunak berupa dana bergulir yang sistem dan jadwal pengembaliannya diatur dalam sebuah aturan yang sudah ditetapkan oleh PWGT.

RBM
Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) merupakan sebuah program yang dihasilkan Persidangan ke-8 PWGT di Palopo tahun 1992, untuk memberikan perhatian kepada anak-anak dengan kecatatan. Berdasarkan dengan percakapan dengan salah seorang tenaga volenteer dari Inggris (VSO) Nicola Crews ketika berlibur ke Toraja, yang memperkenalkan program pelayanan kepada mereka yang mempunyai kecatatan (Community Based Rehabilitation for Disabled Children = Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk anak-anak dengan kecatatan). Selain konsep, juga memberikan informasi tentang lembaga yang dapat diajak kerjasama untuk pelayanan tersebut.
Berdasarkan konsep ini, maka RBM dimulai sejak Agustus 1994. Jumlah anak yang dilayani pada saat program ini dumulai yaitu 8 orang dan semuanya tinggal di Rantepao. Dalam perkembangannya, maka program RBM ini sudah berkembang ke sejumlah desa yang ada di Tana Toraja. Hingga akhir 2006 jumlah anak binaan RBM hampir 400 orang.
Dalam pembinaaan ada sejumlah bentuk pelayanan mulai dari mengumpulkan dalam ruangan untuk diberikan pendidikan dasar dan berbagai keterampilan yang cocok untuk mereka dan hasilnya dapat dijual. Bentuk lainnya, kunjungan rumah yaitu mereka yang karena kondisis kecatatannya tidak memungkinkan datang ke kelas. Dalam sebuah kesempatan dimana penulis bersama tenaga volenteer mengunjungi salah seorang anak, pembinaan yang diberikan seperti bantu diri (menolong diri mereka) dan kebersihan mereka.
Tenaga yang menangani program ini sebanyak 31 orang yang terdiri dari 23 orang pekerja sosial (kader RBM) didampingi 5 orang petugas lapangan, satu orang administrasi, satu orang bendahara, dan seorang koordinator.

Isu Kecatatan sebagai isu Hak Asasi
Terminologi “orang cacat”, “orang buta”, “orang tuli”, dan lain sebagainya “jenis manusia” dirasakan oleh mereka yang mengalaminya sebagai salah satu bentuk marginalisasi. Kalau kita kembali ke kitab Kejadian yang menyatakan Tuhan menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah rasanya tidak seorangpun yang dapat dipanggil “orang cacad”, kita harus melihat sebagai manusia yang utuh, dan kecacadan sebagai hal yang lain yang melengket pada mereka. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, para “penyandang cacad” yang terpelajar bersama dengan organisasi-organisasi lain yang bergerak dalam isu kecacatan lebih merekomendasikan sebutan “people with disability” atau dalam bahasa Indonesia “orang dengan kecacatan”. Terminologi ini mengemuka dalam salah satu forum regional yang difasilitasi oleh Christian Conference of Asia di Chiang Mai, Thailand pada tanggal 25 s/d 30 Maret 2006. Dalam forum ini RBM dari Gereja Toraja berkesempatan mewakili Indonesia.

Membidani lagirnya koperasi Syalom
Salah satu materi pelajaran dari Program pendidikan dan latihan motivator wanita pembangunan masyarakat desa pada tahun 1988 adalah Koperasi Simpan Pinjam atau Credit Union (CU). Sebagai tindak lanjut dari pelajaran CU maka para instruktur yang terdiri dari Ny. Ruth Beslar Ramba, W. Beslar dan Aan Mold seorang tenaga volenteer VSO bersama 12 kader motivator Wanita Pembangunan desa membentuk pra CU karena jumlah anggotanya belum mencukupi. Ktika itu sebanyak 15 orang pendiri mengadakan rapat untuk pertamas kalinya di Pusbinlat Motivator Kondoran Sangalla’ dan membentuk koperasi yang diberi nama Marampak.
Dalam perjalanan dan perkembangannya, CU ini semakin bertambah anggotanya dan juga semakin terasa manfaastnya oleh para anggotanya. Untuk itulah, Ketua Pengurus Pusat PWGT Periode 1988-1992 Pdt. Ny. D.M. Anggui, S.Th mengajurkan agar CU dikembangkan di lingkungan pelayanan Pengurus Pusat PWGT Gereja Toraja.
Setelah keanggotaanya berkembang di wilayah pelayaann Gereja Toraja, maka dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) tanggal 28 Desember 1989 atas persetujuan Pengurus Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja tempat kedudukan CU Marampa’ dipindahkan ke Rantepao dalaqm lingkungan kantor BPS Gereja Toraja serta diganti namanya menjadi CU Syalom yang dikelola diatas tanggungjawab PP.PWGT.
Dalam perkembangannya, agar dapat berjalan sebagai sebuah lembaga Koperasi maka disarankan oleh Kandep Koperasi Tana Toraja untuk mengurus Badan Hukumnya sehingga berdasarkan keputusan RAT tahun 1997 sehingga realisasi dari pengurusan Badan Hukum dengan No. 48/BH/KWK.20/VI/1997 dan nama CU Syalom diganti menjadi Koperasi Simpan Pinjam Syalom.
Hingga akhir 2005 jumlah anggotanya sebanyak 477 orang, dengan modal sendiri 195.638.052, modal dari luar sebesar Rp. 375.790.019,- simpanan sukarela anggota Rp. 233.694.611,- dan sejumlah bentuk dana lainnya.

Migran Wokers.
Salah satu persoalan yang amat penting disikapi ke depan adalah persoalan migran wokers. Dalam pengamatan penulis, ketika mengadakan penelitian lapangan mengenai migran wokers ke Malaysia tahun 1997 dan juga ke Batam pertengahan 2006, maka persoalan diseputar wanita yang bekerja lintas negara dan juga antar daerah cukup kompleks. Untuk itu, perlu pemikiran tentang pendampingan bagi mereka baik sebelujm maupun selama mereka bekerja.

Buku peringatan
Salah satu uapaya untuk memberi gambaran perjalanan PWGT adalah menerbitkan buku peringatan yang menceriterakan tentang langkah-langkah awal dan perjalanan serta perjuangan wanita Gereja Toraja sekaligus juga sebuah harapan yang terbuka sangat lebar dimasa mendatang.

Bahan dikumpulkan oleh penulis dari berbagai sumber

Aleksander Mangoting
HP 081342493774

Kami persilahkan untuk mengedit sesuai dengan ruangan yang ada.

Penulis adalah anggota Biro Informasi dan komunikasi Gereja Toraja.

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut